Kripto Ambruk Lagi, Bitcoin Sentuh Kisaran US$ 30.000
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kripto utama masih terkoreksi pada perdagangan Selasa (10/5/2022), di mana aksi jual investor masih terjadi hingga kini karena mereka masih cenderung merespons negatif dari kebijakan moneter terbaru bank sentral Amerika Serikat (AS).
Melansir data dari CoinMarketCap pada pukul 09:15 WIB, Bitcoin longsor hingga 8,87% ke level harga US$ 30.924,06/koin atau setara dengan Rp 450.099.693/koin (asumsi kurs Rp 14.555/US$), Ethereum anjlok hingga 7,45% ke level US$ 2.310,1/koin atau Rp 33.623.506/koin.
Sedangkan untuk koin digital (token) alternatif (altcoin) lainnya yakni XRP tergelincir hingga 12,2% ke US$ 0,5003/koin (Rp 7.282/koin), dan Solana ambruk hingga 15,05% ke US$ 64,13/koin (Rp 933.412/koin), Cardano ambles hingga 14,26% ke US$ 0,6337/koin (Rp 9.224/koin).
Berikut pergerakan 10 kripto utama pada hari ini.
Bitcoin ambruk dan menyentuh kisaran level US$ 30.000 pada pagi hari ini, di tengah aksi jual investor di aset berisiko. Sebelum hari ini, Bitcoin pernah menyentuh kisaran level US$ 30.000 pada Juli 2021. Bahkan Bitcoin kala itu menyentuh level terendahnya dalam beberapa tahun terakhir di kisaran level US$ 29.800.
Beberapa analis mengatakan bahwa Bitcoin perlu mempertahankan level psikologisnya di US$ 33.000 untuk mencegah berlanjutnya koreksi yang mendalam.
"Secara teknikal, bitcoin perlu mempertahankan tingkat harga psikologisnya di US$ 33.000 untuk mencegah penurunan lebih lanjut," kata Yuya Hasegawa, analis pasar kripto di bursa Bitcoin Jepang Bitbank, dikutip dari CNBC International.
Sementara itu menurut analis lainnya, koreksi kripto belakangan ini beriringan dengan koreksi saham teknologi.
"Penurunan kripto yang masih terjadi didasarkan pada aksi jual yang dipimpin oleh saham teknologi dan bukan fundamental untuk cryptoverse," kata Edward Moya, senior market analyst di Oanda, dilansir dari CoinDesk.
Sebagai bagian dari aksi jual pasar ini, koefisien korelasi antara Bitcoin dan Nasdaq mencapai titik tertinggi sepanjang masa di angka 0,8, menurut perusahaan penyedia data Kaiko. Hal ini dianggap sebagai korelasi positif yang kuat.
Penurunan harga kripto terjadi di tengah masih meluasnya aksi jual investor di aset berisiko seperti saham dan kripto, karena mereka masih merespons negatif dari kebijakan moneter Amerika Serikat (AS).
Bank sentral Paman Sam (Federal Reserve/The Fed) pada pekan lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp).
Kini target suku bunga AS berada di kisaran 0,75-1,00%. Kenaikan drastis suku bunga acuan membuat imbal hasil (yield) surat utang pemerintahnya naik signifikan.
Pada Senin pagi hari waktu AS, yield Treasury tenor 10 tahun sempat menyentuh kisaran level 3,18%. Namun pada penutupan perdagangan Senin waktu AS, yield Treasury tenor 10 tahun mulai menurun ke level 3,001%.
Ketika yield naik berarti harga obligasi sedang tertekan. Investor cenderung memilih aset-aset dengan durasi pendek dan melepas aset dengan horison investasi jangka panjang.
Hal inilah yang memicu saham-saham teknologi babak belur di sepanjang tahun 2022 ini. Pelaku pasar pun memperkirakan volatilitas masih akan berlangsung.
"Kami perkirakan pasar masih akan bergerak volatil dengan kecenderungan adanya downside risk seiring dengan risiko stagflasi yang meningkat" tulis Maneesh Despande dari Barclays sebagaimana diwartakan CNBC International.
Sebagai informasi, stagflasi adalah kondisi ketika perekonomian suatu negara mengalami inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi dan dibarengi dengan ekonomi yang melambat dan adanya resesi.
Stagflasi pernah terjadi di AS pada tahun 1970-an. Pemicu stagflasi kala itu juga sama yaitu harga minyak dan energi yang melambung karena tensi geopolitik yang meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)