Bursa Asia Ambruk, IHSG Paling Parah, Tapi Shanghai Cerah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
09 May 2022 17:54
foto : Reuters/Tyrone Siu
Foto: Reuters/Tyrone Siu

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup terkoreksi pada perdagangan Senin (9/5/2022), karena pelaku pasar cenderung masih khawatir dengan potensi inflasi global yang terus meninggi dan membuat beberapa bank sentral semakin agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya.

Hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup di zona hijau pada hari ini, yakni menguat tipis 0,09% ke level 3.004,14.

Sedangkan sisanya kembali ditutup di zona merah. Indeks Nikkei Jepang ditutup ambruk 2,53% ke level 26.319,34, Straits Times Singapura melemah 0,57% ke 3.273,29, ASX 200 Australia ambles 1,18% ke 7.120,7, dan KOSPI Korea Selatan ambrol 1,27% ke posisi 2.610,81.

Adapun untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 4,42% ke level 6.909,75, setelah selama sepekan lebih tidak dibuka karena adanya libur panjang Idul Fitri 1443 H.

Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur nasional.

Dari China, data ekspor pada April lalu hanya tumbuh sebesar 3,9% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Maret lalu yang tumbuh 14,7%. Sedangkan impor Negeri Panda pada bulan lalu sedikit pulih menjadi 0%, dari sebelumnya pada Maret lalu tumbuh negatif 0,1%.

Data tersebut dirilis ketika China masih terus memerangi wabah Covid-19 terburuknya sejak awal 2020. Kota Shanghai dan Beijing semakin memperketat pembatasan pada penduduk mereka pekan ini. Menghalangi mereka meninggalkan rumah dan kompleks mereka, memicu kemarahan dan kecemasan baru.

Kekhawatiran atas pengetatan penguncian di ekonomi terbesar kedua di dunia yang merugikan pertumbuhan ekonomi global juga mengurangi selera untuk aset berisiko di kalangan investor.

Meski kondisi pandemi masih memburuk, tetapi Presiden China, Xi Jinping pada Kamis pekan lalu menekankan agar negara itu tetap pada kebijakan "nol-Covid dinamis".

Selain itu, pelaku pasar di Asia-Pasifik juga masih merespons dari langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) yang makin agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya untuk memerangi inflasi yang tinggi.

Sebelumnya pada Kamis pekan lalu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed)memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bp).

Tidak hanya menaikkan suku bunga, The Fed juga akan mengurangi nilai neracanya, sehingga likuiditas di perekonomian AS akan terserap lebih banyak, dengan harapan inflasi bisa terkendali.

Hal ini juga sempat membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah (US Treasury) tenor 10 tahun menyentuh di atas 3% pada pekan lalu, sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 2018.

Yield yang terus tinggi akan membuat investor berbondong-bondong memborong surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden dan mereka cenderung melepas aset berisiko termasuk pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular