Rupiah Masih Libur, Mata Uang Asia dan Eropa Babak Belur

Feri Sandria, CNBC Indonesia
Jumat, 06/05/2022 19:00 WIB
Foto: mata Uang (Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menembus rekor tertinggi dalam 20 tahun dan membuat mata uang Asia babak belur. Untungnya rupiah tidak menjadi korbannya, karena pasar keuangan Indonesia masih libur memperingati Hari Raya Idulfitri.

Pada perdagangan hari ini hingga pukul 15.45 WIB, tidak ada satu pun mata uang utama Asia yang mampu menguat menghadapi dolar AS. Pelemahan terbesar dialami oleh mata uang negeri Jiran, ringgit Malaysia yang melemah 0,48%. Adapun yang paling kuat adalah mata uang Taiwan yang tidak mengalami depresiasi maupun apresiasi.

Sementara itu, sejak awal tahun mata uang utama Asia juga kompak melemah berjamaah di hadapan dolar, dengan yen jepang menjadi yang terburuk dengan jeblok lebih dari 13% sepanjang tahun ini, dan berada di level terlemah dalam dua dekade terakhir.


Adapun mata uang yang mengalami pelemahan terkecil di Asia adalah rupiah yang masih terpangkas 1,72%, hal ini salah satunya dikarenakan pasar finansial Indonesia yang sudah libur sejak Jumat (29/4/2022) membuat rupiah terhindar dari tekanan, setidaknya untuk sementara waktu ini.

Pada hari perdagangan terakhir (28/4), rupiah ditutup melemah 0,52% ke 14.495 yang merupakan level terendah dalam 9 bulan. Terakhir kali nilai tukar rupiah menembus Rp 14.500/US$ adalah pada 21 Juli 2021 lalu

Tidak hanya di Asia, mata uang dari benua Eropa juga mengalami pelemahan yang cukup signifikan sejak awal tahun ini dengan poundsterling Inggris menjadi mata uang yang paling terpuruk. Sepanjang tahun ini poundsterling merosot nyaris 9%, dan berada di kisaran US$ 1,233, terendah dalam dua tahun terakhir.

Euro juga terpuruk, bahkan menyentuh level terendah dalam lebih dari 5 tahun terakhir. Adapun Franc Swiss juga jeblok lebih dari 7,90% dan berada di level terendah dua tahun.

Pekan ini, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) berada di level tertinggi sejak 2002, dan sempat di tutup di level 103,604 pada hari Selasa (3/5) lalu. Sementara itu hari ini, penguatannya terpangkas tipis.

Sebelumnya reli penguatan Dolar AS semakin perkasa karena kebijakan kenaikan suku bunga yang telah dijanjikan oleh The Fed.

Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps (0,50%) pada Kamis pagi (5/5). Ini merupakan yang kedua tahun ini, setelah sebelumnya telah menaikkan 25 bps pada Maret lalu. Kenaikan 50 bps tersebut juga merupakan yang terbesar sejak abad ke-21.

Suku bunga terbaru tersebut merupakan bagian dari rangkaian kenaikan hingga tujuh kali yang diperkirakan oleh analis dan ekonom, dengan suku bunga The Fed awal tahun 2023 diperkirakan akan berada di level 2,90%.

Kenaikan suku bunga acuan pada akhirnya akan membuat aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi 'seksi'. Oleh karena itu, nilai tukar mata uang Negeri Paman Sam pun terapresiasi karena tingginya permintaan.

Tidak hanya menaikkan suku bunga, The Fed juga akan mengurangi nilai neracanya, sehingga likuiditas di perekonomian Amerika Serikat akan terserap lebih banyak. Harapannya inflasi bisa terkendali.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat kini sudah menembus 8,5% (year-on-year/yoy) di bulan Maret, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,9% (yoy).

Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir, tepatnya sejak Desember 1981. Inflasi CPI inti tumbuh 6,5% (yoy) dari sebelumnya 6,4% (yoy).

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed juga berada di level tertinggi 4 dekade.

Terserapnya likuiditas artinya jumlah dolar AS yang beredar menjadi berkurang, alhasil nilainya pun terus menanjak.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor