Harga CPO Naik Nyaris 2% Sepekan, Gegara RI Larang Ekspor?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Minggu, 01/05/2022 11:45 WIB
Foto: REUTERS/Samsul Said

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) acuan pada pekan ini terpantau melejit, di tengah adanya larangan ekspor CPO oleh Pemerintah Indonesia.

Sepanjang pekan ini, harga CPO di bursa Malaysia untuk kontrak Agustus 2021 melejit 11,79% secara point-to-point ke level RM 7.104/ton.


Pada Rabu (27/4/2022) lalu, harga CPO sempat melonjak 10%, setelah pemerintah Indonesia memperluas cakupan larangan ekspor CPO dan Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBD Palm Oil), dan Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein) dan Used Cooking Oil yang sontak mengejutkan pasar minyak nabati dunia.

Pasalnya, Indonesia merupakan produsen terbesar CPO di dunia dan menyumbang sekitar 60% dari total pasokan. Sementara itu, Malaysia adalah pemasok terbesar kedua dengan sekitar 25% dari pangsa pasokan global.

India merupakan importir utama minyak sawit, sementara China, Pakistan, Bangladesh, Mesir dan Kenya adalah pembeli utama lainnya.

Pemerintah India pun cemas akan larangan ekspor CPO Indonesia. Ini karena minyak sawit lebih disukai dalam industri jasa makanan India karena relatif lebih murah, tahan lama, dan lebih stabil pada suhu tinggi dibandingkan dengan minyak lainnya.

India mengonsumsi sekitar 24 juta ton minyak nabati setiap tahun, di mana sekitar 10,5 juta ton kebutuhan dipenuhi melalui produksi dalam negeri sedangkan 13,5 juta ton sisanya diimpor.

Dari nilai impor, sekitar 8 juta ton hingga 8,5 juta ton adalah minyak sawit dan 45% di antaranya berasal dari Indonesia dan sisanya dari negara tetangga Malaysia. Larangan tersebut terjadi ketika pasar nabati global sudah tertekan oleh berbagai sentimen negatif.

Berbagai sentimen negatif tersebut mencakup minyak biji bunga matahari yang terhambat pasokannya karena perang antara Rusia dan Ukraina yang belum juga mereda.

Selain minyak biji bunga matahari, minyak kedelai yang produksinya juga menjadi terbatas karena cuaca ekstrem di perkebunan Amerika Selatan, dan juga produksi CPO Malaysia yang menurun karena bergantung pada 80% tenaga kerja asing yang belum dapat memasuki Malaysia karena pembatasan pandemi Covid-19.

Hal tersebut, mendorong harga minyak nabati seperti minyak mustard, minyak kedelai, bunga matahari dan minyak sawit telah naik sebanyak 25% selama setahun terakhir.

Pada periode 2020-2021, tagihan impor minyak nabati India telah melonjak 63% atau US$ 15,7 miliar yang berakhir pada periode 31 Oktober 2021.

Volume impor tetap kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya sekitar 13,5 juta ton tetapi nilainya melonjak karena harga di luar negeri melonjak. Maka, kemungkinan tagihan impor minyak nabati India juga akan meningkat tahun ini.

Tidak hanya itu, India juga menghadapi kekurangan pasokan batu bara di beberapa wilayah negaranya.

Dengan latar belakang ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan defisit transaksi berjalan India melebar dari 1,6% di tahun 2022 menjadi 3,1% di tahun 2023.

Sejumlah faktor seperti kenaikan harga minyak mentah, batu bara, minyak nabati, pupuk dan gas alam akan terus menekan posisi eksternal India ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Adu Strategi Sawit RI di Tengah Tekanan Ekonomi Global