Sepekan Jelang Lebaran IHSG Berpotensi Moncer, Benarkah?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi bakal 'moncer' menjelang lebaran Idul Fitri, meski pada perdagangan sesi I awal pekan ini Senin (25/4/2022), IHSG terjatuh mengikuti pergerakan bursa Asia yang juga ambruk pada perdagangan awal pekan ini.
Membuka perdagangan di level 7.225,60, IHSG berakhir melemah 0,14% ke level 7.215,46 pada pukul 11:30 WIB atau penutupan perdagangan sesi I hari ini. Nilai perdagangan tercatat Rp. 12,74 triliun dengan melibatkan lebih dari 17 miliaran saham yang berpindah tangan lebih dari 1 juta kali.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak perdagangan dibuka, indeks saham acuan nasional tersebut sudah drop signifikan. Hanya dalam waktu singkat IHSG terpelanting keras ke zona merah dengan koreksi 1%. IHSG sempat berada di level terendah hariannya di angka 7.121,86 pada pukul 9-an.
Meski pada perdagangan sesi I hari ini terkoreksi, namun secara historis dalam 10 tahun terakhir, IHSG pada perdagangan sepekan jelang lebaran cenderung menguat.
Berikut data historis penguatan IHSG sepekan menjelang lebaran dalam 10 tahun terakhir.
Jika dilihat dari data di atas, hanya pada lebaran tahun 2011 dan 2013 yang mencatatkan koreksi. Di tahun 2011, IHSG hanya melemah tipis 0,03% sepekan. Sedangkan di tahun 2013, IHSG terkoreksi 0,39% dalam sepekan.
Rekor kenaikan IHSG selama sepekan jelang lebaran terjadi di tahun 2016 dan 2019, di mana pada tahun 2016, IHSG saat sepekan menjelang lebaran melonjak nyaris 3% atau lebih tepatnya melesat 2,83%. Sedangkan tahun 2019 lalu, IHSG melonjak 2,51% pada perdagangan sepekan jelang lebaran.
Pada tahun ini, meski IHSG cenderung terkoreksi di perdagangan sesi I awal pekan, tetapi peluang IHSG ditutup positif pada pekan ini masih cukup besar, mengingat data historis selama 10 tahun terakhir. Apalagi, momentum lebaran tahun ini sudah sangat jauh berbeda dengan tahun 2020 dan 2021 yang saat itu tidak ada arus mudik.
Momentum Lebaran, yang secara historis menyumbang kenaikan konsumsi (dan inflasi) nasional bakal berjalan normal kembali, setelah dalam dua tahun terakhir loyo akibat pandemi dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Namun, faktor global yang masih belum menentu juga dapat mempengaruhinya. Pada hari ini, bursa Asia-Pasifik terpantau berjatuhan seiring pelaku pasar yang masih merespons negatif dari pernyataan ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan moneter kedepannya. Bahkan, IHSG pun sempat terdampak dari jatuhnya bursa Asia pada hari ini.
Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell pada Jumat lalu dini hari waktu Indonesia mengatakan bahwa kenaikan suku bunga 50 basis poin (bp) sudah siap diketok pada pertemuan The Fed berikutnya. Dia juga mengatakan saat ini merupakan momen yang tepat untuk 'bergerak lebih cepat' dalam memerangi inflasi.
Berdasarkan perangkat Fed Watch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 99,6% The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 0,75% - 1% pada 4 Mei mendatang (waktu setempat).
Selain itu, ada probabilitas sebesar 70% The Fed akan menaikkan 50 basis poin lagi di bulan Juni menjadi 1,5% - 1,75%.
Dengan The Fed yang bertindak lebih agresif, semakin banyak analis yang melihat AS akan mengalami resesi.
"Saya melihat probabilitas 30% Amerika Serikat memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan, dan probabilitas tersebut terus meningkat," kata kepala ekonomi Moody's Analytics Mark Zandi.
Namun, Powell sendiri mengakui tugas The Fed saat ini sangat menantang, melandaikan inflasi tanpa membuat perekonomian AS mengalami pelambatan signifikan hingga resesi.
"Target kami menggunakan instrumen yang kami miliki untuk kembali mengsinkronkan supply dengan demand... dan tanpa membuat pelambatan yang bisa membawa perekonomian resesi. Itu akan sangat menantang," kata Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)