
Sentimen Suku Bunga AS Bikin Rupiah Melemah Tipis Pekan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan pekan ini. Pergerakan ini terjadi di tengah gelombang keperkasaan dolar AS karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diharapkan akan segera menaikkan suku bunga acuannya di bulan depan.
Sepanjang minggu ini, rupiah membukukan pelemahan 13 poin atau 0,09% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Rupiah mengakhiri pekan di posisi Rp 14.356/US$.
Melansir Refinitiv, secara year-to-date, Mata Uang Garuda memang masih melemah terhadap dolar AS sebesar 1%, sedangkan dalam 6 bulan terakhir rupiah masih tertekan 2%.
Pada perdagangan Jumat (22/4/2022) kemarin, nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) dan tertahan di zona merah sepanjang perdagangan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,05% ke Rp 14.350/US$. Depresiasi rupiah kemudian bertambah menjadi 0,15% Rp 14.365/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.356/US$ melemah 0,09% di pasar spot.
Dolar AS yang kembali perkasa membuat rupiah tertekan. Kamis (21/4) lalu, indeks dolar AS sempat jeblok ke bawah level 100, sebelum berbalik naik ke atas level tersebut. Kemarin, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini berada di 100,62, menguat tipis 0,04%.
Berbaliknya indeks dolar AS terjadi setelah ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell mengatakan kenaikan 50 basis poin akan didiskusikan saat pertemuan kebijakan moneter 3 dan 4 Mei (waktu setempat).
"Dengan inflasi yang tiga kali lebih tinggi dari target 2%, akan tepat untuk bergerak sedikit lebih cepat. Kenaikan suku bunga 50 basis poin akan dibicarakan pada pertemuan bulan Mei," kata Powell dalam diskusi ekonomi pada pertemuan Dana Moneter International (IMF) sebagaimana dilansir Reuters.
Meski demikian, pelaku pasar sebenarnya sudah menakar kemungkinan kenaikan 50 basis poin di bulan Mei, sehingga meskipun dolar AS mendapat tenaga, tetapi penguatannya tidak akan besar. Rupiah masih akan bergerak tipis-tipis saja seperti yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Powell juga melihat jika investor sudah price in, dengan menyebut mereka bereaksi dengan tepat secara umum.
Namun, dengan The Fed yang bertindak lebih agresif, semakin banyak analis yang melihat Amerika Serikat akan mengalami resesi.
"Saya melihat probabilitas 30% Amerika Serikat memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan, dan probabilitas tersebut terus meningkat," kata kepala ekonomi Moody's Analytics Mark Zandi.
Powell sendiri mengakui tugas The Fed saat ini sangat menantang, melandaikan inflasi tanpa membuat perekonomian AS mengalami pelambatan signifikan hingga resesi.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat (AS) kini sudah menembus 8,5% (year-on-year/yoy) di bulan Maret, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,9% (yoy). Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak Desember 1981. Inflasi CPI inti tumbuh 6,5% (yoy) dari sebelumnya 6,4% (yoy).
Sementara itu inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% (yoy) di bulan Februari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% (yoy). Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.
"Target kami menggunakan instrumen yang kami miliki untuk kembali mengsinkronkan supply dengan demand... dan tanpa membuat pelambatan yang bisa membawa perekonomian resesi. Itu akan sangat menantang," kata Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pergerakan Rupiah Sepekan