Bergerak Tipis-Tipis Terus, Rupiah Kapan "Meledak"?
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam dua hari terakhir kinerja rupiah melawan dolar Amerika Serikat berbanding terbalik 180 derajat. Kamis kemarin rupiah sukses mencatat penguatan tipis tetapi tanpa pernah mencicipi zona merah, sehari sebelumnya justru yang terjadi kebalikannya.
Sementara pada perdagangan Jumat (22/4/2022), rupiah langsung melemah 0,05% ke Rp 14.350/US$. Depresiasi rupiah bertambah menjadi 0,1% ke Rp 14.360/US$ pada pukul 10:11 WIB.
Sebelum perdagangan dibuka, rupiah memang sudah terlihat akan melemah, sebab di pasar non-deliverable forward (NDF) posisinya lebih lemah ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Dolar AS yang kembali perkasa membuat rupiah tertekan. Kemarin, indeks dolar AS sempat jeblok ke bawah level 100, sebelum berbalik naik ke atas level tersebut. Pagi ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini berada di 100,62, menguat tipis 0,04%.
Berbaliknya indeks dolar AS terjadi setelah ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell mengatakan kenaikan 50 basis poin akan didiskusikan saat pertemuan kebijakan moneter 3 dan 4 Mei (waktu setempat).
"Dengan inflasi yang tiga kali lebih tinggi dari target 2%, akan tepat untuk bergerak sedikit lebih cepat. Kenaikan suku bunga 50 basis poin akan dibicarakan pada pertemuan bulan Mei," kata Powell dalam diskusi ekonomi pada pertemuan Dana Moneter International (IMF) sebagaimana dilansir Reuters.
Meski demikian, pelaku pasar sebenarnya sudah menakar kemungkinan kenaikan 50 basis poin di bulan Mei, sehingga meskipun dolar AS mendapat tenaga, tetapi penguatannya tidak akan besar. Rupiah masih akan bergerak tipis-tipis saja seperti yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Powell juga melihat jika investor sudah price in, dengan menyebut mereka bereaksi dengan tepat secara umum.
Namun, dengan The Fed yang bertindak lebih agresif, semakin banyak analis yang melihat Amerika Serikat akan mengalami resesi.
"Saya melihat probabilitas 30% Amerika Serikat memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan, dan probabilitas tersebut terus meningkat," kata kepala ekonomi Moody's Analytics Mark Zandi.
Powell sendiri mengakui tugas The Fed saat ini sangat menantang, melandaikan inflasi tanpa membuat perekonomian AS mengalami pelambatan signifikan hingga resesi.
"Target kami menggunakan instrumen yang kami miliki untuk kembali mengsinkronkan supply dengan demand... dan tanpa membuat pelambatan yang bisa membawa perekonomian resesi. Itu akan sangat menantang," kata Powell.
Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) menegaskan masih akan bersabar menaikkan suku bunga. Ia sekali lagi menegaskan kebijakan moneter tidak merespon administered prices atau harga yang ditentukan pemerintah. Hal ini terkait dengan kenaikan beberapa harga, seperti Pertamax yang ditentukan pemerintah.
Yang direspon oleh BI adalah dampak second round yang terlihat dari inflasi inti. BI juga menyatakan terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
"Esensinya sabar, menunggu koordinasi lebih lanjut, pada waktunya kami akan menjelaskan, komitmen kami menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (19/4/2022).
Seandaianya BI sedikit saja lebih hawkish, dengan memberikan sinyal akan menaikkan suku bunga di semester II-2022, rupiah bisa menguat melawan dolar AS bahkan tidak menutup kemungkinan pergerakannya cukup besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)