Ekonomi Utama Dunia Mau Resesi, Manajer Aset Ikut Khawatir?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
19 April 2022 15:15
Empty shelves are seen in the meat aisle of Co-Op supermarket, Harpenden, Britain, September 22, 2021.  REUTERS/Peter Cziborra
Foto: Rak-rak kosong terlihat di lorong daging supermarket Co-Op, Harpenden, Inggris, 22 September 2021. (REUTERS/Peter Cziborra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekhawatiran akan potensi terjadinya resesi semakin meningkat karena bank sentral AS Federal Reserve bersiap untuk kembali menaikkan suku bunga secara agresif demi memerangi inflasi.

Banyak investor pasar modal, khususnya di negeri Paman Sam, sudah mulai mengambil posisi bertahan sembari juga bertanya-tanya apakah strategi tersebut memiliki lebih banyak ruang untuk dijalankan.

Seberapa besar kekhawatiran akan resesi sebenarnya dapat dilihat dari proksi pencarian Google untuk istilah tersebut yang meningkat pesat tahun ini, merujuk data mesin pencari Google. Topik terkait termasuk yield curve dan inflasi juga mengalami peningkatan tajam secara global.

Ketakutan itu bisa dimengerti. Meskipun pasar tenaga kerja tetap kuat, laju inflasi berada pada level tertinggi empat dekade membuat kepercayaan dan daya beli konsumen turun.

Beberapa waktu ini, pengusaha di AS mampu menambahkan ratusan ribu pekerjaan dalam sebulan dan akan mempekerjakan lebih banyak orang jika mereka dapat menemukan tenaga kerja yang pasarnya semakin ketat.

Secara bersamaan ekonomi yang mulai pulih dari pandemi membuat para konsumen membelanjakan uangnya, kelompok usaha berinvestasi, dan upah yang meningkat dengan kecepatan tertinggi dalam beberapa dekade.

Hal tersebut yang membuat para ekonom memperingatkan kemungkinan resesi.

Inflasi yang cepat, melonjaknya harga minyak dan ketidakstabilan global telah menyebabkan analis menurunkan secara tajam perkiraan pertumbuhan ekonomi mereka tahun ini, dan meningkatkan kemungkinan kontraksi. Investor berbagi kekhawatiran itu: Pasar obligasi di AS bulan lalu memancarkan sinyal peringatan yang sering - meskipun tidak selalu - meramalkan penurunan, inversi kurva yield.

Prediksi seperti itu mungkin tampak membingungkan ketika ekonomi, dalam banyak ukuran, terlihat jelas sedang booming. Amerika Serikat telah mendapatkan kembali lebih dari 90% pekerjaan yang hilang pada minggu-minggu awal pandemi, dan pengusaha menambahkan 431.000 pekerjaan pada bulan Maret saja. Tingkat pengangguran telah turun menjadi 3,6%, sedikit di atas tingkat pra pandemi, yang merupakan level terendah setengah abad.

Akan tetapi, pemulihan yang luar biasa membawa diprediksi ikut membawa benih kehancurannya. Permintaan - untuk mobil, rumah, makanan restoran, dan pekerja- telah melampaui pasokan yang tersedia, menyebabkan inflasi tercepat dalam 40 tahun.

Pembuat kebijakan di Federal Reserve berpendapat bahwa mereka dapat mendinginkan ekonomi dan menurunkan inflasi tanpa meningkatkan pengangguran dan menyebabkan resesi. Tetapi banyak ekonom skeptis bahwa The Fed dapat merekayasa hal seperti itu, terutama di saat ketidakpastian global yang ekstrem.

William Dudley, mantan presiden Federal Reserve Bank of New York, menyebut resesi "hampir tak terhindarkan." Dia adalah salah satu ekonom yang berargumen bahwa jika Fed mulai menaikkan suku bunga tahun lalu, bank sentral AS mungkin dapat mengendalikan inflasi hanya dengan mengerem ekonomi. Sekarang, kata mereka, ekonomi tumbuh begitu cepat - dan harga naik begitu cepat - sehingga satu-satunya cara bagi The Fed adalah dengan menginjak rem yang menyebabkan resesi.

Manajer hedge fund ikut ketar ketir

Manajer pengelola aset dan dana investor semakin pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari data hasil survei bulanan Bank of America (BOFA), yang berpotensi menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam kepemilikan pasar saham.

Ketidakselarasan antara ekspektasi pertumbuhan global dan alokasi ekuitas "tetap mengejutkan," tulis analis BofA pekan lalu.

Meski responden kompak mengharapkan kondisi ekonomi yang lebih lemah dengan potensi terjadinya resesi, saham yang overweight masih berada di level net positif.

"Investor menjadi sedikit lebih bullish pada ekuitas. Meskipun masih pada level tertekan," tulis para analis BOFA, dilansir MarketWatch.

Sementara itu, kekhawatiran resesi telah menjadi konsensus, kata para analis, memuncaki daftar ketakutan manajer dana, setelah kekhawatiran seputar perang Rusia-Ukraina mulai memudar.

Ketakutan akan resesi mulai meningkatFoto: MarketWatch
Ketakutan akan resesi mulai meningkat

Meskipun sentimen tersebut juga menjadi salah satu kekhawatiran investor domestik, akan tetapi pasar modal dalam negeri tampaknya masih cukup kuat dan masih memiliki optimisme besar. Sejak awal tahun Indeks Harga saham Gabungan (IHSG) telah naik di kisaran 10%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Jepang Masuk Jurang Resesi, Jerman Jadi Negara Ekonomi Terbesar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular