Neraca Dagang RI Surplus Lagi, Yield SBN Kembali Menguat

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Senin, 18/04/2022 20:59 WIB
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Senin (18/4/2022) awal pekan ini, di tengah kembali positifnya data neraca perdagangan Indonesia pada Maret lalu.

Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, di tandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 1 tahun dan 25 tahun yang yield-nya turun dan harganya menguat. Yield SBN tenor 1 tahun turun cukup besar yakni sebesar 253,5 basis poin (bp) ke level 2,837%. Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun melemah 0,3 bp ke level 7,354%.

Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menguat 3,5 bp ke level 6,957%. Yield SBN tenor 10 tahun semakin mendekati kisaran level 7%.


Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Menguatnya yield SBN terjadi di tengah kabar positif dari rilis data neraca perdagangan RI yang kembali menorehkan angka positifnya pada Maret lalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia bulan lalu adalah US$ 21,97 miliar. Tumbuh 32,02% dibandingkan Februari 2022 (month-to-month/mtm) dan 30,85% dibandingkan Maret 2021 (year-on-year/yoy).

Sebelumnya, BPS mengungkapkan nilai ekspor Maret 2022 adalah US$ 26,5 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 4,53 miliar. Surplus ini adalah yang ketiga terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Hanya kalah dari Oktober 2021 (US$ 5,74 miliar) dan Agustus 2021 (US$ 4,75 miliar).

Indonesia sudah membukukan surplus neraca perdagangan sejak April 2020, atau selama 23 bulan terakhir. Ini baru kali pertama terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Rekor surplus perdagangan tanpa putus kali terakhir terjadi pada Agustus 2008-Juni 2010 yang juga berlangsung selama 23 bulan. Kala itu Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Neraca perdagangan yang terus surplus membantu transaksi berjalan (current account) Indonesia mampu membukukan surplus di tahun 2021.

Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) kembali melonjak ke level tertingginya dalam lebih dari 3 tahun terakhir pada pagi hari ini waktu AS, karena investor masih menimbang inflasi Negeri Paman Sam yang kembali meninggi

Berdasarkan data dari CNBC International pada pukul 06:15 waktu AS, yield Treasury tenor 10 tahun menguat 4,1 bp ke level 2,849%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Kamis pekan lalu di level 2.808%.

Investor masih menilai tekanan inflasi. Sebelumnya pada Selasa pekan lalu waktu AS, Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan laju inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada Maret 2022 mencapai 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Angka ini lebih tinggi dari konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 8,4% sekaligus jadi rekor tertinggi sejak Desember 1981. Sedangkan inflasi dari sisi produsen (Producer Price Index/PPI) AS pada Maret lalu melompat 11,2% secara tahunan (yoy).

Data IHK dan PPI AS yang naik semakin memperkuat keyakinan pasar bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal mendongkrak suku bunga acuan lebih cepat.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed bakal mendongrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas