China Enggan Beri Stimulus, Bursa Asia Kompak Ditutup Melemah
Jakarta, CNBC Indonesia - Semua bursa saham utama di Asia tertekan pada penutupan perdagangan Jumat (15/4/2022), merespons kebijakan bank sentral China (People Bank of China/PBoC) yang memilih tak menurunkan suku bunga acuannya.
Indeks Shanghai ditutup melemah 0,45% atau 14,4 poin ke 3.211,24, sementara indeks Shenzhen turun 0,56% atau 66,05 poin menjadi 11.648,57. Koreksi juga menimpa indeks Korea Selatan Kospi yang turun 20,65% (-0,76%) menjadi 2.696,06.
Beberapa indeks utama lainnya libur pada hari ini untuk memperingati Jumat Agung, di antaranya bursa Indonesia, Australia, Singapura, India dan Selandia Baru.
Pelaku pasar global semula mengantisipasi pemangkasan suku bunga acuan di Negeri Panda ini sebagai upaya untuk memberikan stimulus bagi perekonomian. Suku bunga yang lebih rendah akan memicu gairah pelaku usaha untuk mengajukan kredit usaha.
Namun, bank sentral China memilih menahan suku bunga acuannya untuk mengatasi risiko pandemi Covid-19 yang kini kembali merebak, terutama di Shanghai. Situasi tersebut memicu pembatasan atau karantina wilayah (lockdown) yang berimbas buruk terhadap perekonomian.
Ekonomi senior Capital Economics untuk Kawasan China Julian Evans-Pritchard menilai langkah bank sentral China tersebut mengejutkan menyusul pelemahan ekonomi yang sangat drastis dan seruan dari pemimpin China agar ada dukungan moneter.
"Hal ini menggarisbawahi keengganan bank sentral untuk mengambil kebijakan uang longgar yang agresif. Namun, kami menilai mereka tak akan memiliki banyak pilihan selain melakukannya meski lebih lambat," tuturnya, seperti dikutip CNBC International.
Dari sisi fundamental, China hari ini merilis data harga rumah yang menunjukkan harga rumah hunian baru per Maret tak banyak bergerak dalam dua bulan berturut-turut. Mengutip Reuters, harga rumah baru hanya naik 1,5% secara tahunan, menjadi laju terendah sejak November 2015.
Saham teknologi melemah, di antaranya SoftBank Group yang anjlok 1,21%, mengekor saham Sony yang ambles hingga 2,52%.
"Saham China masih di bawah tekanan dari keprihatinan seputar karantina wilayah terkait Covid-19," tutur Shane Oliver, Kepala Perencana Investasi dan Ekonomi Kepala perusahaan layanan keuangan berbasis di Australia AMP.
China, lanjutnya, masih menghadapi persoalan untuk mengatasi gelombang varian Omicron yang memicu lockdown akibat kebijakan 'Bebas Covid' yang saat ini masih dijalankan. Padahal, varian terbaru Covid-19 tersebut sangatlah mudah menular sekalipun tidak terlalu berbahaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)