
Yield Treasury Hampir Mendekati 3%, Harga SBN Melemah

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Rabu (6/4/2022), di tengah potensi sikap bank sentral Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif untuk mengekang inflasi agar tidak kembali meninggi.
Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 3 tahun dan 20 tahun yang masih ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield dan penguatan harga.
Yield SBN bertenor 3 tahun turun 1,2 basis poin (bp) ke level 3,622%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 20 tahun melemah 1,4 bp ke level 7,2%.
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik menguat 3,1 bp ke level 6,78% pada perdagangan hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari Amerika Serikat (AS), yield surat utang pemerintah (US Treasury) tenor 10 tahun melonjak ke kisaran level 2,6% pada pagi hari ini waktu AS, setelah adanya pernyataan dari salah satu pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengatakan bahwa pihaknya perlu menurunkan neracanya "secara cepat" untuk menekan inflasi.
Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun naik 8,9 bp ke level 2,643%. Bahkan, yield Treasury tenor 5 tahun kini sudah berada di level 2,779%, naik sebesar 8,4 bp.
Gubernur The Fed, Lael Brainard mengatakan bahwa pihaknya perlu menurunkan neracanya "secara cepat" untuk menekan inflasi.
"Inflasi terlalu tinggi dan dan menyimpan risiko kenaikan lanjutan. Hal ini membuat The Fed perlu secara bertahap mendongkrak suku bunga acuan (Fed Funds Rate)," tuturnya, dikutip CNBC International.
Selain itu, Presiden The Fed San Francisco, Mary Daly mengatakan kepada Native American Finance Officers Association bahwa inflasi yang mencapai level tertinggi 40 tahun terakhir sama bahayanya dengan perumpamaan "tidak memiliki pekerjaan" dan meyakinkan kelompok tersebut bahwa The Fed siap untuk bertindak.
Tingginya inflasi di AS, yang diikuti agresivitas The Fed menaikkan suku bunga tahun ini menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan resesi. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% secara tahunan, tertinggi sejak Januari 1982.
Sementara itu, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% tahunan di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% secara tahunan. Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.
Tingginya inflasi membuat The Fed agresif menaikkan suku bunga, di bulan depan bahkan diperkirakan sebesar 50 basis poin menjadi 0,75%-1%. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, setelah menaikkan pertama kali bulan lalu.
Dengan suku bunga yang tinggi, ekspansi dunia usaha tentunya akan melambat, jika inflasi tidak kunjung menurun maka perekonomian Negeri Sam berisiko terpukul dan menurut triliuner Carl Icahn bisa memicu resesi.
"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, kepada CNBC International, Selasa (22/3/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi