Ada Potensi Resesi Di AS & Eropa, Yield Mayoritas SBN Melemah
Jakarta, CNBCIndonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup menguat pada perdagangan Selasa (5/4/2022), di tengah kekhawatiran adanya potensi resesi di beberapa negara maju, utamanya di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Mayoritas investor kembali ramai memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan menurunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 3, 5, dan 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield dan melemahnya harga.
Yield SBN bertenor 3 tahun naik 5 basis poin (bp) ke level 3,634%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 5 tahun naik 0,5 bp ke level 5,654%, dan yield SBN berjangka waktu 30 tahun menguat 1,4 bp ke level 7,003%.
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali melemah 0,2 bp ke level 6,749% pada perdagangan hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) tenor pendek yakni 2 tahun dan 5 tahun kembali berada di atas level yield Treasury berjangka panjang yakni tenor 10 tahun dan 30 tahun, meski selisih yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun tidak terpaut jauh.
Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury tenor 2 tahun naik 3,7 bp ke level 2,465%, sedangkan yield Treasury tenor 10 tahun juga naik 4,4 bp ke level 2,456%, sehingga selisihnya (spread) sekitar 0,9 poin.
Sedangkan yield Treasury tenor 5 tahun naik 5,1 bp ke level 2,606%, sementara yield Treasury tenor 30 tahun juga naik 4,4 bp ke level 2,518%, spread antara yield Treasury tenor 5 tahun dengan 30 tahun saat ini sebesar 8,8 poin.
Menurut MUFG Securities, di tahun 2019, inversi terjadi 163 hari sebelum resesi tahun 2020. Sementara saat AS mengalami resesi antara 2007 -2009, inversi terjadi 571 hari sebelumnya, dan resesi di tahun 2001, inversi terjadi 422 hari sebelumnya.
Kemungkinan kembali terjadinya resesi juga diungkapkan Triliuner Carl Icahn.
"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).
Tingginya inflasi di Amerika Serikat, plus bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan resesi.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% secara tahunan (year-on-year/yoy) tertinggi sejak Januari 1982. Sementara yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,4% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Agutus 1982.
Sementara itu inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% (yoy) di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% (yoy). Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.
Tingginya inflasi membuat The Fed agresif menaikkan suku bunga, di bulan depan bahkan diperkirakan sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, setelah menaikkan pertama kali bulan lalu.
Dengan suku bunga yang tinggi, ekspansi dunia usaha tentunya akan melambat, jika inflasi tidak segera menurun maka perekonomian Negeri Paman Sam berisiko terpukul.
Hal ini yang membuat premi risiko dalam jangka pendek meningkat, yang membuat yield Treasury mengalami inversi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)