Rupiah Batal Menguat Gegara Kabar Buruk Dari China
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengawali perdagangan Kamis (31/3/2022) dengan menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi sayangnya gagal dipertahankan, dan justru berbalik melemah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.325/US$. Sayangnya dalam waktu singkat, rupiah langsung memangkas penguatannya bahkan berbalik melemah dan terus tertahan di zona merah.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.368/US$, melemah 0,2%.
Pergerakan rupiah tersebut sejalan dengan kurs non-deliverable forward (NDF) yang pagi ini posisinya lebih lemah sore ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
Periode | Kurs Kamis (31/3) pukul 8:58 WIB | Kurs Kamis (31/3) pukul 15:03 WIB |
1 Pekan | Rp14.323,5 | Rp14.350,5 |
1 Bulan | Rp14.333,0 | Rp14.360,0 |
2 Bulan | Rp14.344,5 | Rp14.368,5 |
3 Bulan | Rp14.360,0 | Rp14.385,0 |
6 Bulan | Rp14.423,0 | Rp14.456,0 |
9 Bulan | Rp14.513,0 | Rp14.546,0 |
1 Tahun | Rp14.623,0 | Rp14.646,0 |
2 Tahun | Rp14.923,0 | Rp15.031,0 |
Sentimen pelaku pasar yang menjadi kurang bagus lagi setelah mendapat kabar kurang sedap dari China membuat rupiah tertekan. Setelah sebelumnya melakukan lockdown di beberapa wilayah, sektor manufakturnya kini mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 5 bulan terakhir.
Data dari pemerintah China pagi ini menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur bulan Maret sebesar 49,5, turun dari bulan sebelumnya 50,2 dan lebih rendah dari prediksi ekonomi sebesar 49,7.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 artinya ekspansi.
Kontraksi sektor manufaktur China bisa menjadi kabar buruk bagi perekonomian global. Sebab sebagai negara dengan nilai perekonomian dunia dan konsumen komoditas terbesar, kontraksi tersebut tentunya menurunkan permintaan dari negara lain.
Sektor non-manufaktur China bahkan terpukul lebih parah lagi. Maklum saja, dengan diterapkanya lockdown, aktivitas warga tentunya sangat dibatasi.
PMI sektor non-manufaktur China merosot menjadi 48,4 di bulan Maret dari bulan Februari 51,6. Kontraksi tersebut menjadi yang pertama dalam 7 bulan terakhir.
Selain itu pelaku pasar hari ini menanti rilis data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) Amerika Serikat malam ini.
Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter.
Di bulan Januari, inflasi ini tumbuh 6,1% (year-on-year/yoy), dan inflasi inti PCE sebesar 5,2% (yoy) tertinggi sejak 1983. Sementara untuk bulan Februari yang akan dirilis malam ini, berdasarkan hasil polling Reuters inflasi inti PCE diperkirakan melesat 5,5% (yoy).
Hal ini bisa semakin menguatkan ekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Mei, yang tentunya bisa memberikan tekanan ke rupiah.
Sementara dari dalam negeri, data inflasi yang dirilis Jumat besok bisa memberikan gambaran kapan Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunganya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat pengumuman kebijakan moneter pertengahan bulan ini sekali lagi menegaskan suku bunga akan dipertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental yakni inflasi inti.
Inflasi inti saat ini berada di level 2,03% yang merupakan batas bawah target BI 3% plus minus 1%. Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi inti di bulan Maret diprediksi sebesar 2,21%, mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sehingga bisa memperkuat spekulasi BI akan menaikkan suku bunga di semester II-2022.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)