Waspada! Obligasi AS Alami Inversi Yield, Harga SBN Melemah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Selasa, 29/03/2022 18:54 WIB
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Selasa (29/3/2022), di tengah masih terjadinya inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).

Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN. Hanya SBN bertenor pendek yakni 1 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penguatan harga dan penurunan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 1 tahun turun 7,8 basis poin (bp) ke level 2,512% pada perdagangan hari ini.


Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik menguat 4,5 bp ke level 6,76%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Menguatnya yield mayoritas SBN pada hari ini terjadi di tengah masih adanya inversi (inverted) yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) atau US Treasury, di mana yield US Treasury bertenor 5 tahun kini lebih tinggi dari yield US Treasury bertenor 30 tahun, bahkan bertenor 10 tahun.

Melansir data dari CNBC International, yield US Treasury bertenor 5 tahun kini berada di level 2,606%, naik sebesar 4 bp dari level 2,566% pada penutupan perdagangan Senin kemarin waktu setempat.

Sedangkan yield US Treasury berjatuh tempo 30 tahun kini berada di level 2,575%, naik 0,2 bp dan yield US Treasury berjangka waktu 10 tahun naik 1,7 bp ke level 2,494%.

Kurva yield Treasury bertenor 5 tahun dan 30 tahun sudah terbalik sejak Senin pagi waktu AS, di mana inversi ini kembali terjadi sejak 2006. Inversi yield obligasi terjadi ketika yield tenor jangka pendek lebih tinggi ketimbang tenor jangka panjang.

Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955, ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya.

Namun sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja dan tidak memicu resesi (false signal).

Kemungkinan terjadinya resesi juga diungkapkan Triliuner Carl Icahn.

"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).

Di lain sisi, sentimen global dari konflik Rusia-Ukraina yang membaik juga mendorong investor untuk kembali melepas SBN pada hari ini, setelah pada perdagangan akhir pekan lalu hingga Senin kemarin mereka kembali memburunya.

Potensi damai semakin terbuka setelah Rusia dilaporkan sudah menarik sebagian pasukannya di Ukraina.

Mengutip CNBC International, Wali Kota Slavutich, Yuri Fomichev mengatakan pasukan Rusia telah meninggalkan kota setelah melakukan sejumlah survei.

"Mereka menyelesaikan pekerjaan yang telah mereka lakukan," kata Fomichev dalam sebuah unggahan video kantor berita setempat.

"Mereka mensurvei kota. Hari ini mereka selesai melakukannya dan meninggalkan kota. Tidak ada (tentara Rusia) di kota sekarang," tambahnya.

Sementara itu, pembicaraan tatap muka antara kedua belah pihak akan dilanjutkan pekan ini, di mana delegasi dari kedua negara akan melakukan perjalanan ke Turki saat pembicaraan dilanjutkan pada hari ini.

Kemarin, pejabat Ukraina mengatakan bahwa mereka tidak akan membuka koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil mengingat pasukan Rusia mungkin merencanakan serangan terhadap rute evakuasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas