Ada Peringatan Krisis Lebih Buruk dari 2008, Emas Diborong?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 March 2022 18:30
Gold bars and coins are stacked in the safe deposit boxes room of the Pro Aurum gold house in Munich, Germany,  August 14, 2019. REUTERS/Michael Dalder
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inversi yield obligasi Amerika Serikat (AS) kembali terjadi di pekan ini. Hal ini memicu kecemasan akan kembali terjadinya resesi di negera adidaya tersebut.

Saat resesi atau ancaman resesi terjadi, aset-aset safe haven biasanya menjadi incaran untuk investasi. Tetapi, emas masih berfluktuasi dan belum menunjukkan tanda-tanda kenaikan konsisten. Sepanjang pekan lalu harga emas sukses melesat 1,9%, tetapi kemarin malah merosot hingga 1,75% sementara pada perdagangan Selasa (29/3/2022) pukul 16:50 WIB turun lagi 0,6% ke kisaran US$ 1.911/troy ons di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Inversi yield obligasi Amerika Serikat sering dijadikan sinyal akan terjadinya resesi, bahkan kali ini ada yang memprediksi bisa lebih parah dari krisis finansial 2008.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Inversi yield obligasi terjadi ketika yield tenor jangka pendek lebih tinggi ketimbang tenor jangka panjang. Inversi terjadi saat ini terjadi pada yield tenor 5 tahun yang sebesar 2,606% sementara tenor 30 tahun berada di 2,591%. Dua tenor ini terakhir kali mengalami inversi pada 2006, dan setelahnya terjadi krisis finansial global di tahun 2008.

Sementara yield obligasi tenor 2 tahun berada di kisaran 2,491% dan tenor 10 tahun di 2,503%, atau selisihnya hanya 0,12% saja, dan bisa sewaktu-waktu mengalami inversi juga.

Kali terakhir inversi yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun terjadi pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Kemungkinan terjadinya resesi juga diungkapkan Triliuner Carl Icahn.

"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).
Sementara itu, Peter Schiff, CEO dari Euro Pacific Capital mengatakan ia percaya pasar finansial akan mengalami crash, bahkan bisa lebih parah dari 2008.

Menurut Schiff, kebijakan moneter longgar yang dilakukan bank sentral dunia mampu menyelamatkan perekonomian dari pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), tetapi juga memicu inflasi tinggi secara struktural. Ia juga menjelaskan skenario yang diambil The Fed yakni bertindak agresif agar bisa meredam kenaikan inflasi.

"Satu-satunya cara untuk menghentikan kenaikan inflasi adalah The Fed membalikkan kebijakan moneter sepenuhnya, membiarkan suku bunga naik dengan dramatis, mengurangi supply likuiditas, dan mengabaikan konsekuensi jangka pendek dari default perusahaan dan pemerintah, kebangkrutan, tingkat pengangguran," kata Schiff, sebagaimana dilansir Capital.com, Kamis (24/3/2022).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-Siap! 'Duet Maut' Bakal Bawa Emas Terbang Tinggi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular