Rupanya Ini yang Bikin Harga SBN RI Terguncang
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang antara Rusia-Ukraina dan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang mulai hawkish membuat pasar obligasi pemerintah Indonesia ikut terdampak, di mana kinerjanya cenderung negatif pada periode Februari-Maret 2022.
Sepanjang Februari lalu saja, pasar obligasi kembali mencatatkan penurunan harga dengan imbal hasil (yield) bertenor 10 tahun ditutup meningkat sebesar 1.18% dari sebelumnya berada di level 6.44% ke level 6.52%.
Kenaikan yield obligasi domestik ini dipengaruhi oleh naiknya yield obligasi pemerintah AS, US Treasury ke level tertinggi sejak pandemi, di atas 2%.
Adapun dari awal Maret hingga perdagangan Senin (28/3/2022) kemarin, yield surat berharga negara (SBN) bertenor 10 tahun sudah naik sebesar 20,5 basis poin (bp) ke level 6,715%, dari sebelumnya di level 6,51%.
Selain itu, target penerbitan SBN yang lebih rendah di 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, akan mengurangi tekanan oversupply. Di saat yang sama, permintaan pasar akan terjaga melalui skema burden sharing antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia, yang masih berlanjut di 2022.
Riset dari Bank OCBC NISP memperkirakan yield SBN bertenor 10 tahun akan bergerak di kisaran 6,6% hingga 6,9% pada semester satu tahun ini.
Sementara itu, menurut Vasu Menon, Senior Investment Strategist Bank OCBC NISP, selisih (spread) kredit di pasar obligasi akan tetap lebar, sehingga masih cenderung underweight secara keseluruhan.
"Di pasar obligasi, kami memperkirakan spread kredit akan tetap lebar sehingga masih underweight secara keseluruhan terhadap aset kelas ini, namun netral terhadap obligasi high yield. Pemilihan obligasi yang lebih selektif akan menjadi kunci ditengah ketidakpastian ekonomi saat ini," terang Menon, dalam riset Bank OCBC NISP.
Menon menambahkan bahwa tingkat kredit terlihat tertekan akibat upaya pengetatan kebijakan moneter para bank sentral global dan juga ketidakpastian geopolitik yang diakibatkan oleh perang Rusia dan Ukraina.
Diawal bulan lalu, yield US Treasury naik signifikan seiring dengan rilisan data inflasi yang mencapai 7,5% di bulan Januari, sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar atas respon apa yang akan diambil oleh The Fed untuk mengendalikan kenaikan harga barang.
Namun, kenaikan yield obligasi terlihat diseimbangi oleh aksi risk-off investor akibat konflik Rusia-Ukraina yang mendorong volatilitas pasar obligasi AS ke level ketiga tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Spread obligasi negara berkembang dengan yield tinggi (high yield) melebar sekitar 100 basis poin ke level terlebarnya sejak Juli 2020, sementara obligasi negara berkembang dengan investment grade melebar sekitar 40 basis poin ke level terlebarnya sejak Oktober 2020.
Meski begitu, obligasi negara maju masih berkinerja lebih baik, dengan obligasi AS high yield hanya melebar 10 basis poin dan obligasi AS investment grade melebar 15 basis poin.
Beberapa hal yang membebani performa kelas aset pendapatan tetap saat ini, seperti pengetatan kebijakan moneter, tensi geopolitik yang meningkat akibat konflik Rusia-Ukraina.
Hal ini membuat Bank OCBC NISP menurunkan rekomendasi overweight terhadap obligasi Asia dengan yield tinggi menjadi netral seiring dengan pemulihan sektor properti China yang tidak secepat perkiraan sebelumnya.
(chd/chd)