Wall Street Dibuka Variatif Usai Cetak Reli 2 Pekan Beruntun
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) bergerak menyamping pada pembukaan perdagangan Senin (28/3/2022), setelah penguatan dua pekan berturut-turut di tengah masih tingginya risiko global.
Indeks Dow Jones Industrial Average tertekan 90 poin pukul 08:30 waktu setempat (21:30 WIB) dan selang 30 menit menjadi minus 170,01 poin (-0,49%) ke 34.691,23. S&P 500 turun 3,98 poin (-0,09%) ke 4.539,08. Namun, Nasdaq naik 37,06 poin (+0,26%) ke 14.206,36.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) membentuk pola inversi, di mana surat utang tenor pendek (5 tahun) naik menjadi 2,64% sementara tenor 30 tahun melemah kurang dari 1 basis poin (bp) menjadi 2,6%.
Pola inversi di mana imbal hasil tenor pendek lebih tinggi dari tenor panjang terkadang dianggap sebagai indikator bakal terjadinya resesi. Meski demikian pola tersebut belum terlihat pada surat utang tenor 2 tahun dan 10 tahun.
Saham perbankan pun tertekan di mana JP Morgan anjlok 1,7% di pembukaan, sementara Wells Fargo ambles 2,7%. Di sisi lain, saham Goldman Sachs dan Bank of America tertekan masing-masing sebesar 1%.
Investor terus mengamati perkembangan antara Rusia dan Ukraina dan ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga acuan yang direncanakan oleh The Fed. Kedua pihak yang berseteru tersebut bertemu di Turki untuk membahas prospek gencatan senjata.
Harga minyak mentah pun terkoreksi, di mana minyak acuan AS jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok 4,8% ke US$ 108,42/barel, sementara minyak acuan internasional yakni Brent drop 4,4% ke US$ 115,44/barel.
Sebaliknya, saham Tesla melesat lebih dari 5% menyusul kabar rencana pemecahan nilai nominal saham (stock split) guna membayarkan dividen ke pemegang saham. Saham teknologi lain juga menguat seperti Netflix dan Microsoft masing-masing sebesar 1%, sementara saham Zoom Video melesast lebih dari 3%.
Risiko geopolitik tetap sangat tinggi dan reli bursa saham selama 2 pekan terakhir mengesankan. Ekonomi AS masih dalam kondisi yang baik, tapi membeli saham yang sedang turun mungkin tidak menjadi sikap kebanyakan investor ke depan mengingat betapa hawkish-nya The Fed," tutur Analis Senior Pasar Oanda Edward Moya dikutip dari CNBC International.
Investor masih mengamati The Fed. Perusahaan-perusahaan dari Goldman Sachs hingga Bank of America memperkirakan kenaikan setengah poin persentase dalam pertemuan The Fed di bulan Mei, setelah Ketua The Fed Jerome Powell bersumpah untuk bersikap keras terhadap inflasi dan mengatakan kenaikan suku bunga bisa menjadi lebih agresif jika perlu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)