Pejabat Elit The Fed Dorong Suku Bunga Jadi 3%, Rupiah Kuat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 March 2022 09:14
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Senin (21/3), setelah mencatat pelemahan 0,28% sepanjang pekan lalu. Beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan pada pekan lalu masih berdampak pada hari ini.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 14.340/US$, sama persis dengan posisi penutupan Jumat pekan lalu. Hingga pukul 9:08 WIB, rupiah masih tertahan di level tersebut.

Pergerakan di pasar non-delvierable forward (NDF) pagi ini belum bisa memberikan gambaran kemana rupiah akan melangkah. Sebab, tenor 1 pekan mengalami pelemahan ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan Jumat pekan lalu, sementara tenor lainnya mayoritas mengalami penguatan.

Seperti di ketahui pada pekan lalu pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) dan Bank Indonesia (B) menjadi penggerak utama rupiah.

Sesuai dengan prediksi pasar, The Fed pada pekan lalu menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%, dan mengindikasikan akan menaikkan 6 kali lagi di tahun ini. Artinya, akan ada kenaikan sebesar 25 basis poin di setiap pertemuan menjadi 1,75% - 2% di akhir tahun.

Tetapi beberapa pejabat elit The Fed melihat kebijakan yang diambil bisa lebih agresif lagi dengan menaikkan 50 basis poin. Hal ini dilakukan guna meredam tingginya inflasi di Amerika Serikat.

"Perekonomian kemungkinan akan menghadapi tekanan tinggi inflasi yang tinggi. The Fed perlu bertindak lebih agresif sehingga kebijakan moneter menjadi kontraktif agar membawa perekonomian ke ekuilibrium dengan target inflasi 2%," kata Presiden Fed wilayah Mnneapolis, Neel Kashkari, sebagaimana dilansir Reuters, Sabtu (19/3).

Presiden The Fed St. Louis, James Bullard menjadi yang paling bullish. Bullard pada pekan lalu sebenarnya memilih kenaikan sebesar 50 basis poin, dan menginginkan di akhir tahun nanti suku bunga mencapai 3%.

Rupiah masih perkasa melawan dolar AS setelah The Fed menaikkan suku bunga pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Tetapi kemudian berbalik melemah pada hari Jumat, salah satu penyebabnya yakni BI yang kembali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti.

"Saya tegaskan bahwa kebijakan moneter merespon kenaikan inflasi yang bersifat fundamental, yaitu inflasi inti. (Kebijakan moneter) tidak merespon secara langsung kenaikan volatile food maupun administered prices, tidak merespon first round impact, tetapi yang direspon adalah implikasinya," Gubernur BI, Perry Warjiyo saat konferensi pers pasca Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis (17/3).

Selain itu, pergerakan harga komoditas juga sedikit memberikan sentimen negatif ke rupiah. Dua komoditas ekspor andalan Indonesia jeblok pada pekan lalu. Harga batu bara acuan Ice Newcastle (Australia) kontrak April jeblok hingga 34% ke US$ 240/ton dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di bursa derivatif Malaysia kontrak Mei merosot lebih dari 21% ke MYR 5.760/ton

Meski harga dua komoditas tersebut masih cukup tinggi, tetapi penurunannya yang tajam tentunya menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Sebab, surplus neraca perdagangan bisa berkurang, dan tentunya pasokan devisa menjadi menurun.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular