
Awas! Spekulator Mulai Borong Dolar AS Jelang Rapat The Fed

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (14/3) dini hari waktu Indonesia. Sebelum pengumuman tersebut para spekulator mulai menambah posisi beli (long) dolar AS.
Hal ini terlihat dari laporan Commodity Futures Trading Commission (CFTC) Jumat pekan lalu yang menunjukkan posisi net long dolar AS meningkat menjadi US$ 5,44 miliar pada pekan yang berakhir 8 Maret.
Nilai tersebut mengalami kenaikan dari pekan sebelumnya US$ 5,12 miliar yang merupakan level terendah sejak Agustus 2021.
Posisi net long tersebut merupakan kontrak dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc, dolar Australia dan Kanada.
Sementara posisi kontrak yang lebih luas termasuk melawan mata uang emerging market, net long dolar AS senilai US$ 3,88 miliar, naik tipis dari pekan sebelumnya US$ 3,84 miliar.
Hal ini menunjukkan mata uang emerging market masih cukup menarik perhatian para spekulan, khususnya negara-negara pengeskspor komoditas, seperti Indonesia. Terbukti, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, dan terjadi perang Rusia dengan Ukraina yang juga membuat permintaan dolar AS meningkat sebab statusnya sebagai aset (safe haven).
Pelaku pasar saat ini melihat The Fed hanya akan menaikkan 25 basis poin di pekan ini menjadi 0,25% - 0,5% Kamis nanti. Hal tersebut terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group di mana probabilitasnya sebesar 94%.
Ketua The Fed, Jerome Powell, juga mendukung kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin, tapi membuka peluang lebih agresif jika inflasi terus menanjak.
"Kami akan berhati-hati saat mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Kamu memiliki ekspektasi inflasi akan mencapai puncaknya kemudian turun di tahun ini. Jika inflasi malah semakin tinggi atau lebih persisten, kami akan bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih agresif dengan menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada satu atau beberapa pertemuan," kata Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR, pada Rabu (2/3).
Tren kenaikan inflasi di Amerika Serikat memang masih terus berlanjut. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, bahkan menyatakan inflasi masih akan terus menanjak dalam waktu yang cukup lama.
Alhasil, risiko The Fed akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga semakin menguat.
Kamis pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,5%.
Inflasi pada bulan lalu itu menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir, tepatnya sejak Januari 1982.
Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,4% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Agutustus 1982.
"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina. Dan saya pikir itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi di semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International, Kamis (11/3)
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer