
Ada Potensi Stagflasi Global, Tapi Harga SBN Ditutup Mixed

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup beragam pada perdagangan Jumat (11/3/2022) akhir pekan ini, di tengah kekhawatiran investor akan terus meningginya inflasi global.
Sikap investor di pasar SBN cenderung beragam pada hari ini. Di SBN bertenor 1, 5, 10, dan 20 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penurunan imbal hasil (yield) dan kenaikan harga.
Sedangkan di SBN berjatuh tempo 3, 15, dan 25 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield) dan pelemahan harga.
Sementara untuk SBN berjangka waktu 30 tahun, yield-nya cenderung stagnan pada hari ini di level 6,945%, berdasarkan data dari Refinitiv.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pada hari ini, sentimen pelaku pasar kembali memburuk dan membuat beberapa pasar saham di Asia kembali terkoreksi. Sentimen memburuk akibat perang Rusia-Ukraina yang belum berhenti hingga kini.
Konflik Rusia-Ukraina kembali memanas setelah negosiasi antara keduanya yang dijembatani oleh Turki tak banyak mencapai kesepakatan mengenai gencatan senjata maupun pembukaan jalur pengungsian untuk warga sipil.
Di lain sisi, pasukan Rusia dilaporkan semakin mendekati ibu kota Ukraina, Kyiv pada Kamis malam waktu setempat. CNBC International melaporkan salah satu pejabat di Pentagon menyebut jika pasukan Rusia sudah berada sekitar 15 kilometer dari Kyiv. Pejabat tersebut juga yakin Rusia berencana mengepung Kyiv.
Selain dari memburuknya sentimen akibat memanasnya kembali tensi Rusia-Ukraina, investor juga kembali mengkhawatirkan dari inflasi Amerika Serikat (AS) yang kembali melonjak pada Februari lalu.
Inflasi AS per Februari melesat sebesar 7,9% (secara tahunan), menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir, dan melampaui ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 7,8%. Secara bulanan, inflasi tercatat 0,8%, atau lebih tinggi dari estimasi sebesar 0,7%.
Hal ini pun mematik Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, yang mengatakan pada Kamis kemarin waktu setempat bahwa masyarakat AS akan menghadapi inflasi yang "sangat tidak nyaman" di tengah perang Rusia-Ukraina.
Inflasi yang tinggi berarti harga barang dan jasa di perekonomian melambung. Ketika harga suatu barang dan jasa di perekonomian semakin mahal dan tak terjangkau artinya ekonomi dalam bahaya karena daya beli masyarakat tergerus. Hal ini bisa berdampak pada terjadinya perlambatan atau bahkan kontraksi output yang sering disebut sebagai resesi.
Banyak pelaku pasar yang khawatir bahwa ekonomi AS akan kembali ke tahun 1970-an, di mana di saat tersebut, Negeri Paman Sam berada dalam salah satu periode terburuknya karena mengalami stagflasi.
Secara sederhana stagflasi dicirikan oleh tiga hal yang saling berkaitan yakni inflasi yang tinggi akan menyebabkan pengangguran juga melonjak, pada akhirnya kedua hal tersebut akan menyebabkan perekonomian tumbuh melambat atau bahkan jatuh ke jurang resesi.
Kekhawatiran investor akan potensi stagflasi dan konflik Rusia-Ukraina yang belum mereda membuat investor di AS kembali memburu obligasi pemerintah AS (Treasury) pada hari ini, terlihat dari cenderung melemahnya yield US Treasury pada hari ini.
Dilansir dari CNBC International, yield obligasi pemerintah AS (Treasury) bertenor 10 tahun cenderung turun 2,6 bp ke level 1,983%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Kamis kemarin di level 2,009%.
Sedangkan yield Treasury berjatuh tempo 30 tahun juga cenderung melemah sebesar 3,4 bp ke level 2,358%, dari sebelumnya di level 2,392% pada perdagangan kemarin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi