
Inflasi AS Melonjak, IHSG Tertekan pada Penutupan Sesi 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah pada perdagangan sesi pertama Jumat (11/3/2022), di tengah kegagalan pembicaraan dagang di Ukraina dan lonjakan inflasi di Amerika Serikat (AS).
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG ditutup di 6.890,512 atau melemah 33,5 poin (-0,48%) pada perdagangan sesi pertama. Sebanyak 226 saham melemah, 257 lain menguat, dan 179 sisanya flat.
Dibuka turun 0,74% ke 6.872,632, indeks utama acuan bursa nasional ini terus melemah hingga menyentuh level terendah hariannya pada 6.853,858. Sebaliknya, level pra pembukaan menjadi level tertinggi hariannya yakni pada 6.899,997.
Nilai perdagangan surut menjadi Rp 8,2 triliunan dengan melibatkan 12 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 894 ribuan kali. Investor asing kembali mencetak penjualan bersih (net sell), senilai Rp 97,42 miliar.
Saham yang mereka lego terutama adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 272,8 miliar dan Rp 92,2 miliar. Keduanya drop masing-masing sebesar 3,72% dan 0,95% ke Rp 4.400 dan Rp 7.850/unit.
Sebaliknya, saham yang masih diburu terutama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dengan nilai pembelian bersih masing-masing sebesar Rp 54 miliar dan Rp 47,4 miliar. Keduanya naik masing-masing sebesar 1,29% dan 1,68% ke Rp 7.875 dan Rp 3.030/saham.
Nilai transaksi terbesar dibukukan BBRI dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan nilai masing-masing sebesar Rp 708,3 miliar dan Rp 639,9 miliar. BBCA menyusul dengan total nilai perdagangan Rp 287,6 miliar.
Pasar masih memperhatikan faktor krisis di Ukraina, di mana Rusia dan negara tetangganya tersebut gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata dalam pertemuan yang diperantarai oleh Turki.
Di sisi lain, inflasi AS per Februari melesat 7,9% (secara tahunan), menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir, melampaui ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 7,8%. Secara bulanan, inflasi tercatat 0,8%, atau lebih tinggi dari estimasi sebesar 0,7%.
Inflasi yang tinggi di Negeri Sam ini memicu kekhawatiran bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal agresif mendongkrak suku bunga acuannya, yang berpeluang memicu pembalikan dana asing dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham Bank Diburu, IHSG Awet Menghijau Hingga Closing Sesi 1