
NAB Drop, Reksa Dana Mulai Ditinggalkan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal domestik saat ini memang sedang mengalami turbulensi yang datang menyerang dari berbagai arah. Kenaikan suku bunga acuan The Fed hingga perang di Ukraina menjadi pemberat, tapi kenaikan harga komoditas dan investor asing yang ramai-ramai menanamkan uangnya di bursa domestik dapat menjadi pendorong.
Sejak awal tahun hingga akhir bulan Februari, IHSG tercatat masih mampu tumbuh 4,66%, meskipun akhir bulan Februari ditandai dengan awal mula Rusia menginvasi Ukraina. Bahkan secara tahunan (year-over-year) pertumbuhan IHSG hingga akhir Februari menyentuh dua digit.
Pertumbuhan IHSG ternyata tidak serta merta mengerek kinerja aset lain yang terikat langsung dengan performa saham. Dalam waktu yang sama reksa dana malah mulai 'ditinggalkan' dan gagal membukukan pertumbuhan dari sisi nilai aktiva bersih (NAB).
Sepanjang Februari 2022 NAB industri reksa dana tercatat menyusut. Berdasarkan data yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total NAB bulan lalu tercatat Rp 570,83 triliun.
Jika dibandingkan posisi pada akhir Januari sebesar Rp 574,63 triliun, maka dana aktiva bersih menurun Rp 3,80 triliun. Atau secara bulanan (month-to-month) NAB menusut 0,66%.
Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2021 di mana NAB tercatat Rp 579,96 triliun, NAB reksa dana sepanjang tahun hingga akhir Februari menyusut 1,57%, yang mana dalam waktu yang sama IHSG tumbuh 4,66%.
Lebih jauh lagi, pada akhir Februari 2021 NAB reksa dana tercatat sebesar Rp 570,80 triliun. Artinya secara tahunan, NAB bulan lalu relatif stagnan, hal ini terjadi di tengah IHSG melesat 10,37%. Sebaliknya unit penyertaan malah mengalami kenaikan, dari semula berada di kisaran Rp 1.315 per unit pada Februari 2021, bulan lalu meningkat menjadi Rp 1.362 per unit, atau naik 3,57%.
Tidak hanya IHSG, indeks utama bursa lain seperti LQ45 dan IDX30 juga mengalami pertumbuhan sejak awal tahun ini.
Umumnya mayoritas reksa dana saham mengekor indeks yang seharusnya NAB bisa tumbuh. Akan tetapi hal ini juga tak terlepas dari keputusan manajer investasi yang mungkin menyusun portofolio tanpa mengacu pada tiga indeks utama bursa domestik.
Bisa jadi banyaknya koleksi saham second liner atau sektor kinerjanya buruk dalam portofolio manajer investasi ikut menyeret Nilai Aktiva Bersih (NAB) turun dan membuat dana kelolaan turun.
Akhir tahun lalu, para pelaku usaha memproyeksi bahwa industri reksa dana pada tahun 2022 masih berpeluang tumbuh di tengah kian bervariasinya instrumen pilihan investasi.
Direktur Utama PT Surya Timur Alam Raya Asset Management (PT STAR AM), Reita Farianti menilai, industri reksa dana masih menjanjikan dari sisi pertumbuhan imbal hasilnya.
Kepada CNBC Indonesia, Mantan Direktur Utama BNI Asset Management ini menyebut setelah ekonomi global sempat tersendat karena adanya pandemi COVID-19, ia memperkirakan tahun 2022 akan menunjukkan pertumbuhan yang berarti.
Optimisme yang sama juga datang dari Chief Investment Officer PT Sinarmas Asset Management Genta Wira Anjalu berkata, nilai NAB masih terlampau jauh lebih rendah dibandingkan dengan industri reksa dana negara tetangga.
Dalam perhelatan CNBC Indonesia Capital Market Outlook, Genta menyebut saat ini jumlah dana pihak ketiga (DPK) yang dikelola industri perbankan sudah mencapai Rp 5.000 - Rp 6.000 triliun. Jika dibandingkan dengan total NAB industri, maka nilai dana kelolaan reksa dana di Indonesia baru sepersepuluh DPK perbankan.
Ke depannya, Genta yakin penguatan kinerja industri reksa dana bisa terus terjadi apalagi seiring dilakukannya moratorium izin baru bagi perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha selaku manajer investasi (MI).
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gila! Investor AS Kehilangan Rp 136.800 Triliun, Ada Apa?