Cadangan Devisa RI Naik Lagi, Yield Mayoritas SBN Menguat
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup melemah pada perdagangan Selasa (8/3/2022), setelah Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia kembali naik pada Februari 2022.
Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada Selasa, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor satu tahun yang ramai diburu oleh investor pada Selasa, ditandai dengan turunnya yield dan penguatan harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor satu tahun turun sebesar 1,1 basis poin (bp) ke level 2,926% pada perdagangan Selasa.
Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun cenderung stagnan di level 7,236%.
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield SBN acuan negara kembali menguat 8,5 bp ke level 6,798% pada perdagangan Selasa.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari dalam negeri, cadangan devisa (cadev) Indonesia dilaporkan naik tipis pada bulan lalu, setelah merosot di awal tahun ini. BI melaporkan posisi cadangan devisa di akhir Februari 2022 sebesar US$ 141,4 miliar, naik US$ 100 juta dibandingkan dengan akhir Januari lalu.
"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Februari 2022 antara lain dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri Pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa," tulis BI dalam keterangan resminya, Selasa (8/3/2022).
Posisi cadangan devisa tersebut, lanjut keterangan BI, setara dengan pembiayaan 7,5 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Di lain sisi, yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) cenderung kembali menguat pada perdagangan Selasa, di tengah kekhawatiran bahwa larangan impor minyak Rusia dapat meningkatkan tekanan inflasi global termasuk di AS.
Dilansir dari CNBC International, yield obligasi pemerintah AS (Treasury) bertenor 10 tahun cenderung naik 9,3 bp ke level 1,842%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Senin kemarin di level 1,749%.
Serangan Rusia ke Ukraina membuat harga komoditas energi, utamanya minyak dan gas melonjak ke rekor tertinggi barunya dalam beberapa hari terakhir. Investor juga mengkhawatirkan dari rantai pasokan yang akan kembali terganggu akibat konflik Rusia-Ukraina.
Pada Selasa, harga minyak mentah jenis Brent melonjak 3,38% ke level US$ 127,37 per barel, sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) melesat 2,92% ke level US$ 122,89 per barel.
Investor juga khawatir bahwa larangan impor akan membuat stagflasi kembali terjadi, di mana ekonomi melambat tetapi inflasi bergerak lebih tinggi.
Oleh karena itu, investor akan memantau data inflasi Negeri Paman Sam dari sektor konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) yang akan dirilis pada Kamis pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)