Sinyal Pasar! Bunga The Fed Mau Naik, BI Tak Mau Ikut-ikutan

Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
24 February 2022 07:20
Bank Indonesia Governor Perry Warjiyo speaks during a press conference at the Bank Indonesia headquarters in Jakarta, Indonesia, December 20, 2018. REUTERS/Willy Kurniawan
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserves (The Fed), untuk menaikkan suku bunga acuannya diprediksi akan berlangsung paling cepat Maret 2022. Namun Bank Indonesia (BI) tidak mau ikut-ikutan menaikkan bunga acuannya (BI Rate).

Suku bunga acuan BI yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate saat ini masih bertahan di angka 3,5%. Sudah setahun BI mempertahankan BI Rate di 3,5%.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan kenaikan bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate/FFR) tidak harus berhubungan dengan kenaikan BI Rate.

"Kami tidak mau ikut-ikutan. Kenaikan FFR tidak selalu diikutkan dengan kenaikan BI Rate," tegasnya dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi Media, Rabu (23/2/2022).

Pada kesempatan itu Perry mengatakan, saat ini BI laju inflasi di dalam negeri masih rendah sehingga belum dibutuhkan penyesuaian kenaiakn bunga acuan. Selain itu, BI ingin menjaga suku bunga acuan rendah sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinilai belum normal akibat pandemi Covid-19.

Soal kenaikan FFR, Perry menjelaskan, dampak yang timbul dari kebijakan di AS tersebut adalah akan menaikkan yield (imbal hasil) dari surat utang pemerintah AS (US Treasury/UST). Saat ini UST sudah berada di kisaran 1,8%. Kondisi ini otomatis membuat Indonesia harus menyesuaikan yield dari surat utang pemerintah (Surat Berharga Negara/SBN) yang saat ini mencapai kisaran 6,5%.

"Jadi dampak dari kenaikan FFR ini terjadi di jalur keuangan lewat kenaikan yield US Treasury yang membuat yield SBN juga ikut naik. Namun ini sesuai mekanisme pasar. Jadi antisipasi dan mitigasi terhadap FFR adalah bagaimana penyesuaian yield SBN agar menarik," ujarnya.

Kebijakan The Fed menaikkan bunga acuannya, ujar Perry, dilakukan sebagai bentuk normalisasi kebijakan moneter. The Fed menganggap kondisi ekonomi di AS sudah normal atau kembali ke level sebelum pandemi. Ini salah satunya ditandai dengan kenaikan laju inflasi yang tinggi. Sehingga penyesuaian suku bunga acuan perlu dilakukan.

Untuk Indonesia, normalisasi kebijakan moneter belum perlu dilakukan. Perry mengatakan, BI memprediksi kondisi ekonomi Indonesia akan normal kembali di kuartal III-2022. "Namun baru betul-betul normalnya itu tahun depan. Ini dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Dari pernyataan Perry tersirat, sepertinya BI belum akan melakukan perubahan suku bunga acuan paling tidak hingga kuartal II-2022. Untuk kuartal III-2022, BI akan melihat kondisi terkini ekonomi dan juga proyeksi inflasi dalam satu hingga dua tahun ke depan, yang akan menjadi pegangan BI dalam menentukan stance kebijakan moneternya yaitu lewat suku bunga acuan.

"Di bank sentral kalau menentukan suku bunga didasarkan inflasi setahun dan dua tahun ke depan. Inflasi fundamental ukurannya inflasi inti. Kita perkirakan sekarang, proyeksi setahun belum ada tanda-tanda risiko inflasi fundamental melebihi sasaran kami di 2%-4%," kata Perry.

Kondisi geopolitik yang panas antara Rusia dan Ukraina juga menurutnya belum memberikan dampak besar terhadap inflasi dalam negeri. Seperti diketahui, ketegangan Rusia dan Ukraina membuat harga sejumlah komoditas melonjak.

"Permintaan agregat dalam ekonomi masih lebih rendah daripada kemampuan produksi nasional. Sehingga dampak ke inflasi fundamental masih tidak akan melebihi target," ungkapnya.

"Triwulan tiga kami mulai ancer-ancer, karena ingin respons di 2023 dan 2024. Kenapa suku bunga 3,5% akan kami pertahankan? Sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental dalam setahun dua tahun ke depan," imbuhnya.

Tak hanya kebijakan suku bunga acuan, Perry mengatakan, kebijakan makroprudensial juga akan terus longgar paling tidak hingga tahun depan. Ini dilakukan guna memberikan stimulus kepada perbankan untuk mengucurkan kreditnya dan mendorong perekonomian. "Tahun depan baru kita asesmen untuk 2024 dan 2025," tutup Perry.


(wed/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Rate Tetap 6%, Ini Alasan Gubernur Perry Warjiyo!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular