
Investor Abaikan Konflik Rusia-Ukraina, Yield SBN Menguat

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Rabu (23/2/2022), meski tensi konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina masih memanas hingga hari ini.
Mayoritas investor cenderung melepas obligasi pemerintah pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 10, 25, dan 30 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penurunan yield dan penguatan harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik turun 0,2 basis poin (bp) ke level 6,501%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun juga turun 0,3 bp ke level 7,244%, dan SBN berjangka waktu 30 tahun melemah 0,6 bp ke level 6,893%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Konflik antara Rusia-Ukraina masih cenderung panas hingga hari ini. Namun, investor global mulai mengabaikan sejenak dan memanfaatkan rendahnya harga aset berisiko untuk membelinya di harga rendah atau buy on dip, meski mereka tidak membelinya dalam jumlah yang besar.
Turunnya yield SBN berjangka panjang yakni bertenor 25 dan 30 tahun menandakan pasar masih cenderung khawatir akan dampak jangka panjang dari konflik kedua negara pecahan Uni Soviet tersebut, meski penurunan yield kedua SBN tersebut cenderung tipis.
Pada Selasa kemarin, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden memberikan sanksi kepada dua bank Rusia yakni bank VEB dan bank militer Rusia (PSB). Institusi finansial di AS tidak diizinkan untuk memproses transaksi ke dua bank tersebut.
Sanksi juga diberlakukan ke obligasi yang membuat Rusia tidak bisa lagi menjualnya ke Negara Barat. Beberapa individu Rusia juga diberikan sanksi oleh Biden.
Hal ini dilakukan setelah Rusia mengirim pasukannya ke wilayah Donestk dan Luhansk yang sebelumnya diakui kemerderdekaannya dari Ukraina oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Tak hanya di AS, Inggris pun juga menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap lima bank asal Rusia. Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson akan memberikan sanksi kepada Rossiya Bank, IS Bank, General Bank, Promsvyazbank dan Black Sea Bank.
Selain lima bank Rusia, Johnson juga akan memberikan sanksi kepada tiga individu Rusia dengan kekayaan bersih yang sangat tinggi, seperti Gennady Timchenko, Boris Rotenberg, dan Igor Rotenberg.
Sementara itu dari pasar obligasi pemerintah AS, yield Treasury bertenor 10 tahun cenderung menguat pada hari ini.
Data dari CNBC International menunjukan bahwa yield Treasury bertenor 10 tahun cenderung menguat 1,9 bp ke level 1,967%, dari sebelumnya pada perdagangan Selasa kemarin di level 1,948%.
Analis beranggapan bahwa 'invasi' Rusia ke Ukraina dapat membuat prospek kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi kurang jelas.
Konflik telah membuat harga minyak melonjak nyaris menyentuh level US$ 100 per barel, yang dapat mendorong inflasi global lebih tinggi dan memperumit strategi The Fed untuk mengendalikan inflasi yang meninggi.
Namun, trader di Wall Street tetap bertaruh bahwa ada peluang 100% kenaikan suku bunga pada pertemuan The Fed edisi Maret, menurut alat FedWatch CME Group. Dengan inflasi yang memanas, seruan untuk kenaikan 50 basis poin pada pertemuan Maret telah dipercepat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi