
Tak Takut Perang, Rupiah 'Hajar Balik' Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (23/2) meski tensi geopolitik sedang memanas antara Rusia dengan Ukraina yang juga melibatkan Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,15% ke Rp 14.340/US$ dan bertahan di level tersebut hingga pukul 09:13 WIB.
Tensi geopolitik kini semakin memanas setelah Presiden AS, Joe Biden, menjatuhkan sanksi ke Rusia. Hal ini dilakukan setelah Rusia mengirim pasukannya ke wilayah Donetsk dan Luhansk yang sebelumnya diakui kemerdekaannya dari Ukraina oleh Presiden Vladimir Putin.
"Saya menganggap perlu untuk membuat keputusan yang seharusnya sudah dibuat sejak lama untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin sebagaimana diwartakan CNBC International, awal pekan ini.
Putin juga mengerahkan pasukannya ke wilayah tersebut untuk "menjaga perdamaian", Biden pun akhirnya memberikan sanksi.
"Ini adalah awal dari invasi Rusia ke Ukraina, Putin mengindikasikan hal tersebut dan meminta izin Duma (parlemen) untuk melakukannya. Jadi saya mulai memberikan sanksi," kata Biden sebagaimana diwartakan CNBC International.
Biden memberikan sanksi ke bank VEB dan bank militer Rusia (PSB). Institusi finansial di AS tidak diizinkan untuk memproses transaksi ke dua bank tersebut.
Sanksi begitu juga diberlakukan ke obligasi yang membuat Rusia tidak bisa lagi menjualnya ke Negara Barat. Beberapa individu Rusia juga diberikan sanksi oleh Biden.
Dengan kondisi tersebut dolar AS seharusnya bisa perkasa sebab menyandang status safe haven. Tetapi nyatanya malah melemah melawan rupiah, sebab pasar juga berfokus pada rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) bulan depan.
Eskalasi tensi geopolitik yang membuat harga minyak mentah melesat dikatakan membuat posisi The Fed semakin rumit.
Kenaikan harga minyak mentah bisa memicu inflasi serta pelambatan ekonomi.
"Kenaikan harga minyak mentah membuat situasi semakin rumit. Ada skenario pertumbuhan ekonomi akan terpukul secara substansial. Ada skenario kenaikan harga tidak akan memberikan dampak yang besar ke ekonomi juga mendorong inflasi," kata Bruce Kasman, kepala ekonom JP Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International.
Kasman memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin di bulan depan, tetapi akan diikuti 6 kali kenaikan lagi.
Pasar juga kini melihat kenaikan sebesar 25 basis poin paling mungkin dilakukan.
Ekspektasi tersebut berubah dari sebelumnya 50 basis poin. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group pagi ini, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 71,2% suku bunga akan dinaikkan sebesar 25 basis poin, pada pekan lalu probabilitasnya bahkan mencapai 100%.
Padahal hanya tujuh hari sebelumnya, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin dengan probabilitas lebih dari 90%.
Hal ini yang membuat dolar AS tidak terlalu perkasa meski terjadi eskalasi geopolitik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer