
Tensi Rusia-Ukraina Memanas Lagi, Tapi Harga SBN Mixed

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup bervariasi pada perdagangan Selasa (22/2/2022), di tengah gejolaknya pasar saham global karena tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina kembali memanas.
Sikap investor di SBN terpantau beragam. Di SBN bertenor satu, tiga, dan 10 tahun, investor cenderung melepasnya ditandai dengan pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield).
Sedangkan di SBN berjatuh tempo 15, 25, dan 30 tahun ramai diburu oleh investor ditandai dengan penguatan harga dan penurunan yield.
Adapun untuk SBN berjangka waktu 5 dan 20 tahun cenderung tidak berubah alias stagnan. Melansir data dari Refinitiv,SBN bertenor 5 tahun stagnan di level 5,338% dan SBN berjatuh tempo 20 tahun flat di level 6,91%.
Sedangkan untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik naik 0,9 basis poin (bp) ke level 6,503%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Eskalasi tensi konflik antara Rusia-Ukraina turut membuat para investor di pasar saham global was-was. Ini terlihat dari kompaknya aksi jual (sell-off) di mayoritas bursa saham utama dunia pada hari ini.
Di Asia, sebagian besar pasar sahamnya ambruk lebih dari 1%. Sedangkan di Eropa juga terkoreksi. Sementara di Amerika Serikat (AS) kemungkinan juga akan kembali terkoreksi pada hari ini, setelah pada Senin kemarin tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Ulang Tahun George Washington, presiden pertama AS.
Dari pasar obligasi pemerintah AS, yield Treasury bertenor 10 tahun cenderung melemah pada hari ini. Data dari CNBC International menunjukan bahwa yield Treasury bertenor 10 tahun cenderung melemah 0,7 bp ke level 1,923%, dari sebelumnya pada perdagangan Jumat pekan lalu di level 1,93%.
Investor terus memantau ketegangan geopolitik yang turut membuat pasar kembali bergejolak. Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Senin malam waktu setempat mengumumkan telah mengakui kemerdekaan dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina, yakni Donetsk dan Luhansk.
"Saya menganggap perlu untuk membuat keputusan yang seharusnya sudah dibuat sejak lama untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin sebagaimana diwartakan CNBC International.
Putin juga mengerahkan pasukannya ke wilayah tersebut untuk "menjaga perdamaian".
"Dari laporan, saya pikir kita sudah dapat mengatakan bahwa Putin telah mengirim tank dan pasukan. Dari situ dapat disimpulkan bahwa invasi ke Ukraina telah dimulai," kata Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid dikutip CNBC International, Selasa (2/2/2022).
Meski demikian, Presiden AS Joe Biden belum menggunakan kata 'invasi' untuk langkah yang dilakukan Rusia.
Sebelumnya, AS langsung menanggapi langkah Putin tersebut. Jen Paski salah satu pejabat di Gedung Putih mengatakan Presiden AS, Joe Biden, akan menandatangani perintah eksekutif yang melarang investasi, perdagangan dan pembiayaan oleh warga AS atau sebaliknya dari wilayah Donetsk dan Luhansk.
Sanksi yang diberikan tersebut tentunya bisa memanaskan hubungan AS dengan Rusia, belum lagi negara-negara Eropa yang kemungkinan akan mengambil langkah serupa.
Sementara itu, duta besar China untuk PBB menyerukan semua pihak yang terkait dalam krisis Ukraina untuk menahan diri dan menghindari tindakan apa pun yang dapat memicu ketegangan.
Hal ini bisa membuat tensi geopolitik masih mengalami eskalasi yang membuat sentimen pelaku pasar makin memburuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi