
Inflasi AS 7,5% Bakal 'Guncang' Dunia, RI Kena Imbas?

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan inflasi Amerika Serikat (AS) menjadi persoalan hampir seluruh negara di dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan kekhawatirannya, hal tersebut bisa mempengaruhi perekonomian Indonesia.
"Inflasi di AS 7% tertinggi dalam 40 tahun," ungkap Sri Mulyani dalam Webinar BRI Microfinance Outlook 2022 yang bertajuk "Boosting Economic Growth Through Ultra Micro Empowerment", Kamis (10/2/2022)
Lonjakan inflasi terjadi karena pemulihan ekonomi berjalan cepat pada negara tersebut selepas resesi karena pandemi covid-19. Apalagi AS menggelontorkan dana yang amat besar sebagai stimulus perekonomian.
Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, dan kembali menguatkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikan suku bunga dengan agresif di tahun ini. Banyak pihak memprediksikan ada kenaikan 50 basis poin pada Maret nanti.
"Ini akan menimbulkan respons kenaikan suku bunga makanya tapering muncul yaitu likuiditas global akan diperketat, interest rate naik dan mulai terjadi di Maret. Orang tidak lagi berspekulasi kapan, tapi berapa tinggi kenaikan suku bunga," paparnya.
Sebagai negara adidaya, kebijakan AS akan mempengaruhi pasar keuangan global. Artinya hampir seluruh negara akan terkena imbasnya. Termasuk Indonesia. Aliran modal akan mengalir kembali ke AS dan menyebabkan pelemahan pada nilai tukar.
Apabila tidak diantisipasi dengan tepat, Sri Mulyani mengungkapkan hal tersebut bisa menahan laju pemulihan ekonomi yang kini tengah berjalan.
"Ini tantangan baru pemulihan kita," pungkasnya.
![]() Alamak AS 'Kepanasan'! Inflasi 7,5%, Tertinggi Sejak 40 Tahun |
Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia mengakui runyamnya persoalan ini bagi pasar keuangan global, juga perekonomian Indonesia tentunya.
"Secara historis kenaikan suku bunga AS biasanya diikuti penurunan harga komoditas, dengan lag sekitar 3-6 bulan, karena ada korelasi terbalik (inverse)," ujarnya Jumat (11/2/2022).
Sayang sekali bagi Indonesia, ekonomi pada 2021 besar ditopang oleh kenaikan harga komoditas internasional, antara lain batu bara, minyak kelapa sawit, bauksit, tembaga dan lainnya. Bila harga komoditas menurun, dampaknya akan terasa pada ekspor hingga penerimaan negara.
Pelaku pasar, kata Putera juga menilai the Fed terlambat dalam memberikan respons. Inflasi naik terlalu tinggi, kenaikan suku bunga acuan saat ini akan menjerumuskan AS ke jurang resesi.
"Di pasar ada kekhawatiran Fed sudah terlambat (behind the curve) sehingga terpaksa menaikkan suku bunga dengan sangat cepat dan tinggi, yang bisa memicu resesi di AS," terangnya.
"Pelemahan ekonomi disana tentunya berdampak pada Indonesia, mengingat besarnya ekspor dan surplus perdagangan kita dengan AS," jelas Satria.
Bagi Indonesia, respons paling dekat dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Sebab nilai tukar rupiah akan terimbas seiring dengan beregeraknya aliran modal keluar (outflow) dari Indonesia. Sehingga BI perlu mengeluarkan amunisi untuk mentabilkan nilai tukar.
"Volatilitas di pasar keuangan ini bisa memerlukan biaya intervensi (sterilization cost) yang besar oleh Bank Indonesia di pasar mata uang dan obligasi," pungkasnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Baik dari Amerika: Inflasi Turun ke 6,5%