IHSG Tutup Sesi 1 di Zona Merah Menyusul Lonjakan Inflasi AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperangkap di teritori negatif pada penutupan perdagangan sesi pertama Jumat (11/2/2022), merespons koreksi bursa Asia akibat lonjakan inflasi Amerika Serikat (AS),
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.800,605 atau turun 23,04 poin (-0,34%) pada pukul 11:30 WIB, Dibuka melemah 0,15% ke 6,813,608, indeks acuan utama bursa ini menyentuh level terendah harian pada 6.779,904 beberapa menit usai pukul 09:00 WIB
Selepas itu, IHSG sempat berusaha menguat hingga menjilat level 6.825,062 pada pukul 09:30 WIB sebagai level tertinggi hariannya. Mayoritas saham melemah yakni sebanyak 289 unit, sementara 192 lain menguat, dan 183 sisanya flat.
Nilai perdagangan kembali surut menjadi Rp 6,35 triliun dengan melibatkan 14 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 871.000-an kali, Investor asing hari ini masih mencetak pembelian bersih (net buy), senilai Rp 23,77 miliar.
Saham yang diburu terutama adalah PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan nilai pembelian bersih masing-masing sebesar Rp 98,9 miliar dan Rp 60,5 miliar. Keduanya bergerak berlawanan arah dengan koreksi TLKM sebesar 0,45% ke Rp 4.440 dan reli BBNI sebesar 0,98% Rp 7.750/saham.
Sebaliknya, saham yang mereka jual terutama adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 92,9 miliar dan Rp 35,7 miliar. Keduanya kompak tertekan, dengan koreksi masing-masing sebesar 0,32% dan 2,13% menjadi Rp 7.725 dan Rp 1.840/saham.
Dari sisi nilai transaksi, saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) dan TLKM memimpin dengan total nilai perdagangan masing-masing sebesar Rp 539,4 miliar dan Rp 367,2 miliar, diikuti BBCA senilai Rp 301,8 miliar.
Koreksi IHSG terjadi di tengah pergerakan bursa Asia yang mayoritas melemah, dipimpin indeks Australia dan KOSPI Korea Selatan yang melemah masing-masing sebesar 0,76% dan 0,58%. Sebaliknya indeks Shanghai China dan Hangseng Hong Kong masih naik masing-masing sebesar 0,34%, dan 0,08%.
Pemicunya tak lain adalah inflasi AS yang ternyata masih menyisakan persoalan, dengan angka 7,5% (tahunan) per Januari, tertinggi sejak 1982 dan bahkan melampaui ekspektasi pasar sebesar 7,2%.
Pasar yang semula memperkirakan hanya ada tiga hingga empat kali kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate), kini mulai bertaruh bahwa perlu ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak tujuh kali dalam setahun, guna mengendalikan inflasi.
Jika proyeksi itu terbukti benar, maka limpahan capital inflow yang kita lihat sepanjang Februari berpeluang tersendat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)