Ada "Palang Kematian" di Depan Mata, Rupiah Kudu Waspada!
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang pekan lalu melemah 0,35% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.385/US$. Dalam 5 hari perdagangan rupiah tidak pernah sekali pun menguat, rinciannya melemah 3 kali stagnan 2 kali.
Meski melemah, pergerakan rupiah tersebut terbilang cukup bagus jika melihat dolar AS yang sangat kuat setelah The Fed (bank sentral AS) menegaskan akan agresif menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini. Namun di pekan ini rupiah wajib berhati-hati, sebab secara fundamental dolar AS masih kuat dan secara teknikal ada risiko munculnya Death Cross (palang kematian) bagi Mata Uang Garuda.
Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di Amerika Serikat yang semakin tinggi menguatkan kemungkinan The Fed akan agresif di tahun ini. Pada Jumat pekan lalu, inflasi PCE dilaporkan tumbuh 4,9% year-on-year (yoy) di bulan Desember, yang merupakan level tertinggi sejak September 1983.
Sementara inflasi inti PCE juga naik menjadi 4,8% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 4,7% (yoy). Rilis tersebut semakin memperkuat posisi dolar AS, indeksnya sepanjang pekan lalu melesat 1,7% ke 97,270 yang merupakan level tertinggi sejak Juni 2020.
Masih dari luar negeri, kabar buruk bagi rupiah datang dari China. Aktivitas manufakturnya mengalami pelambatan di bulan Januari.
Aktivitas manufaktur yang dilihat dari purchasing manager index (PMI) berada di level 50,1, turun dari bulan Desember 2021 sebesar 50,3 berdasarkan data dari pemerintah China.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi di atasnya artinya ekspansi.
Data PMI lain yang dirilis Markit/Caixin bahkan sudah menunjukkan kontraksi di 49,1 dari sebelumnya 50,9.
Rilis tersebut memberikan kekhawatiran jika perekonomian China berisiko melambat di tahun ini, yang tentunya akan berdampak ke Indonesia.
Sementara itu dari dalam negeri juga akan dilaporkan data PMI manufaktur serta inflasi pada hari Rabu, yang bisa mempengaruhi pergerakan rupiah. Selain itu perkembangan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang terus menanjak, serta kemungkinan diketatkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di DKI Jakarta juga bisa memberikan pengaruh ke pergerakan rupiah pekan ini.
Secara teknikal, belum ada perubahan level-level yang harus diperhatikan mengingat rupiah berakhir stagnan Jumat (28/1) pekan lalu.
Rupiah berada di atas Rp 14.360/US$ tentunya memberikan tekanan yang lebih besar. Selain itu rupiah yang disimbolkan USD/IDR patut waspada dengan kemungkinan munculnya Golden Cross, yakni perpotongan antara rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 500/ MA 50), dengan MA 500 dari bawah ke atas. Hal tersebut bisa terjadi pada hari ini jika rupiah mengalami pelemahan. MA 50 sebelumnya juga sudah memotong MA 100.
Golden Cross bisa menjadi sinyal berlanjutnya kenaikan USD/IDR yang berarti pelemahan rupiah. Dengan kata lain, Golden Cross yang muncul merupakan Death Cross bagi rupiah.
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian sudah masuk ke wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Ketika Stochastic mulai masuk overbought, memberikan ruang bagi rupiah untuk bangkit.
Resisten terdekat kini berada di kisaran Rp 14.390/US$ hingga Rp 14.400/US$. Jika ditembus, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.430/US$. Di pekan ini, tidak menutup kemungkinan rupiah bisa merosot hingga ke Rp 14.500/US$ akibat Death Cross.
Sementara selama bertahan di bawah resisten rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.350/US$, sebelum menuju MA 200 di kisaran Rp 14.320/US$. Penembusan ke bawah level tersebut akan membuka ruang penguatan ke Rp 14.270/US$ hingga Rp 14.250/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)