The Fed Blak-blakan Bakal Hawkish, Rupiah Makin Loyo
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar hari ini, Kamis (27/1/2022), di tengah banyaknya sentimen negatif karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberikan sinyal akan agresif menaikkan suku bunga acuannya.
Rupiah melemah di awal perdagangan pasar sebesar 0,14%. Pada pukul 13:00 WIB, rupiah kembali terkoreksi 32 poin atau 0,22% menjadi Rp 14.382/US$.
Sentimen pemberat utama hari ini datang dari Negeri Sam, di mana bank sentral yang dipimpin oleh Jerome Powell mengumumkan akan agresif menaikkan suku bunga acuan untuk menekan inflasi yang sudah jauh di atas 2%.
Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun langsung melesat 9.6 basis poin ke 1,8727%, yang berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, dan pada akhirnya menekan rupiah.
Investor memprediksi The Fed menaikkan suku bunga acuan pertama kali pada pertemuan 15-16 Maret, dilanjutkan dengan tiga kenaikan suku bunga lagi sepanjang 2022. Berdasarkan data CME Fedwatch, pelaku pasar mengantisipasi bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan paling cepat 25 bps pada Maret 2022 dengan probabilitas 91,5%.
Bursa saham Asia jatuh di perdagangan sesi satu hari ini, di tengah kecemasan investor akan indikasi bahwa The Fed akan kembali hawkish untuk menaikkan suku bunga acuannya.
Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 3,3%, Hang Seng Hong Kong ambles 2,56%, Shanghai Composite China turun 0,88%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,59%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 3,13%. Di susul Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun hingga 0,15%.
Sementara itu, nilai tukar mata uang AS menguat ke US$ 96,640. Hal yang sama juga terjadi, dolar AS tercatat melonjak 0,7% terhadap yen Jepang, yang menjadi lonjakan harian tertajam dalam lebih dari dua bulan.
Saat suku bunga naik, yang diuntungkan adalah aset-aset berpendapatan tetap seperti obligasi. Imbal hasil (yield) akan turun sehingga menarik minat pelaku pasar. Prospek kenaikan yield obligasi membuat investor memburu dolar AS, yang artinya akan menekan performa Mata Uang Garuda.
Dilansir dari Reuters, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan tanda-tanda awal inflasi mungkin terlihat pada akhir tahun 2021 dan akan menjadi dasar bagi BI untuk mulai mempertimbangkan menaikkan suku bunga kebijakannya.
Warjiyo mengatakan BI akan lebih mengandalkan fleksibilitas diferensial yield obligasi untuk mengurangi sentimen negatif dari pengetatan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/the Fed). BI juga memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan tumbuh sekitar 4,7 - 5,5% karena tingginya harga minyak sawit mentah dan batu bara.
"Suku bunga rendah 3,5% kami tetap pertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi. Kami perkirakan kemungkinan paling awal awal triwulan III-2022 atau kemungkinan besar pada akhir tahun ini," kata Perry dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (27/1/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)