Sikap Investor Masih Bervariasi, Yield SBN Ditutup Mixed

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
17 January 2022 18:47
US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)
Foto: US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup variatif pada perdagangan Senin (17/1/2022) awal pekan ini, karena investor merespons beragam sentimen dari sejumlah data ekonomi yang dirilis hari ini, termasuk pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2021.

Sikap investor di pasar obligasi pemerintah kembali beragam, di mana pada SBN bertenor satu tahun, lima tahun, 10 tahun, dan 20 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai oleh menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield).

Sebaliknya, SBN dengan jatuh tempo tiga tahun, 15 tahun, 25 tahun, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor. Hal ini ditandai oleh melemahnya harga dan kenaikan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor satu tahun menjadi yang paling besar penurunannya pada hari ini, yakni turun sebesar 4,5 basis poin (bp) ke level 3,143%.

Sedangkan yield SBN berjatuh tempo tiga tahun kembali menjadi yang paling besar penguatannya pada hari ini, yakni naik signifikan sebesar 15,8 bp ke level 3,673%.

Sementara untuk yield SBN berjangka waktu 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menurun 1,3 bp ke level 6,389%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

SBN

Investor merespons beragam dari data ekonomi China dan dalam negeri yang dirilis pada hari ini. Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Ekspor Indonesia pada Desember 2021 tercatat tumbuh 35,3% secara tahunan (year-on-year/YoY dan impor naik 47,93% (YoY), sehingga neraca dagang mencatatkan surplus sebesar US$ 1,02 miliar.

Ketiga indikator di atas meleset dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dengan perkiraan ekspor serta impor tumbuh di 40,3% (YoY) dan 39,7% (YoY), di mana neraca dagang diperkirakan surplus US$ 3,05 miliar.

Sementara itu dari China, Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistic/NBS) melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda pada tahun 2021 berhasil tumbuh 8,1%, lebih tinggi dari tahun 2020.

Meski pada tahun 2021 cenderung lebih baik dari tahun 2020, tetapi pada kuartal IV-2021, PDB Negeri Panda mencapai 4%, melambat dari kuartal III-2021 yang sebesar 4,9%.

Hal ini disebabkan oleh kenaikan kasus virus corona (Covid-19) dan penurunan sektor properti. Lonjakan kasus Covid-19 China pada akhir tahun menyebabkan sejumlah daerah memberlakukan penguncian atau lockdown seperti di kota Xi'an. Kebijakan tersebut menekan aktivitas ekonomi khususnya pada tingkat konsumsi masyarakat.

China merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia, sehingga dengan melambatnya kembali perekonomian Negeri Panda, maka hal tersebut akan cenderung berpengaruh terhadap sentimen pasar di dalam negeri, meski hal ini tidak terlalu berdampak signifikan.

Di lain sisi, pasar keuangan Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin hari ini ditutup karena sedang libur nasional, sehingga sentimen pasar pada hari ini cenderung ke arah China.

Pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah Negeri Paman Sam (Treasury) bertenor 10 tahun kembali menguat 8,4 bp ke level 1,793%, menurut data dari CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular