Duka Rupiah di Awal 2022: 'Dihajar' Dolar AS!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
08 January 2022 13:00
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali pekan di tahun 2022, kinerja rupiah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS) dinilai kurang memuaskan, di mana rupiah tercatat melemah terhadap mata uang Negeri Paman Sam.

Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah terkoreksi 0,74% secara point-to-point, meski pada perdagangan Jumat (7/1/2022), rupiah berhasil berbalik arah dan menguat 0,24% ke level Rp 14.355/US$.

Memang dolar AS sedang kuat-kuatnya di pekan ini. Sebabnya, rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menunjukkan normalisasi kebijakan moneter bisa lebih agresif lagi.

Tidak hanya menaikkan suku bunga, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi.

Rilis tersebut memicu kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury). Bahkan pada perdagangan Jumat akhir pekan ini, yield Treasury bertenor 10 tahun sudah berada di kisaran level 1,76%.

"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1/2022) lalu.

Artinya, tidak hanya kenaikan suku bunga, The Fed juga berpeluang melepas obligasinya dan surat berharga yang dimiliki, sehingga likuiditas bisa terserap.

Pengetatan likuiditas bisa berdampak pada terus menanjaknya yield Treasury. Jika itu terjadi, ada risiko aliran modal keluar dari pasar obligasi negara-negara berkembang (emerging market) dan masuk kembali ke AS.

Sementara itu dari dalam negeri, kebijakan pemerintah Republik Indonesia (RI) melarang ekspor batu bara selama satu bulan dapat membebani neraca dagang.

Akhir pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menghentikan sementara ekspor batu bara selama sebulan.

Langkah ini dilakukan untuk memastikan pasokan batu bara ke pembangkit listrik, yang pasokannya semakin menipis.

"Soal pasokan batu bara, saya perintahkan kepada Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan PLN segera cari solusi terbaik demi kepentingan nasional. Prioritasnya adalah pemenuhan kebutuhan dalam negeri, untuk PLN, dan industri di dalam negeri. Sudah ada mekanisme DMO (Domestic Market Obligation, kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik) yang mewajibkan perusahaan tambang untuk memenuhi pembangkit PLN. Ini mutlak, jangan sama sekali dilanggar untuk alasan apapun," tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Tingginya harga batu bara menjadi salah satu pemicu neraca dagang mampu mencatat surplus selama 19 bulan beruntun.

Surplus tersebut akan membantu transaksi berjalan (current account) Indonesia agar tidak mengalami defisit yang besar bahkan bisa mencatat surplus.

Defisit transaksi berjalan yang tidak besar atau jika bisa surplus akan memberikan dampak positif ke rupiah.

Ketika ekspor batu bara dilarang, surplus tentunya akan menyempit, bahkan tidak menutup kemungkinan kembali defisit. Sebab Penjualan batu bara ke luar negeri tersebut rata-rata tiap bulan ditaksir bernilai US$ 1,4 - 1,7 miliar atau senilai Rp 20 - 24 triliun (kurs Rp 14.350/US$).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular