Makin Terpuruk! Rupiah Kini Dekati Rp 14.400/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 January 2022 09:22
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah masih belum mampu bangkit melawan dolar Amerika Serikat pada perdagangan Rabu (5/12). Mata Uang Garuda langsung terpuruk begitu perdagangan dibuka, dan kini terancam mencatat pelemahan 3 hari beruntun dan mendekati Rp 14.400/US$.

Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,14% ke Rp 14.320/US$. Dalam hitungan menit, rupiah langsung jeblok 0,45% ke Rp 14.365/US$, yang merupakan level terlemah sejak 22 Desember lalu.

Kenaikan tajam yield obligasi AS (Treasury) yang memicu kenaikan indeks dolar AS membuat rupiah terpukul. Kabar buruknya, yield Treasury dan indeks dolar AS kembali menanjak pada perdagangan Selasa kemarin.

Pergerakan tersebut mengindikasikan pelaku pasar mulai mengantisipasi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat di tahun ini. Bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini, dan kenaikan pertama bisa terjadi di bulan Maret, atau kurang dari 3 bulan lagi.

Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas lebih dari 50% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret. Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022.

Spekulasi semakin menguat merespon pernyataan pejabat elit The Fed.

"Kenyataannya, inflasi lebih tinggi dari yang saya perkirakan, lebih bertahan lama dari yang saya perkirakan. Pertanyaannya, apakah ini masih sementara (transitory) atau tidak?

"Jika rezim inflasi rendah akan membuat kekuatan makroekonomi menyeimbangkan dirinya sendiri, maka FOMC (Federal Open Market Committee, komite pembuat kebijakan The Fed) harus segera mengedepankan ini. Jadi kita tidak bisa menghindari perlambatan laju pemulihan ekonomi karena inflasi yang tinggi," papar Neel Kashkari, presiden The Fed Minneapolis.

Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melihat semakin banyak bukti bahwa virus corona varian omicron hanya menimbulkan gejala ringan. Makin ke sini, hubungan antara kasus positif dan angka kematian semakin rendah.

"Kita makin banyak melihat studi yang menunjukkan bahwa omicron lebih menginfeksi tubuh bagian atas. Tidak seperti sebelumnya, di mana terjadi peradangan di paru-paru. Ini bisa menjadi kabar baik, tetapi kita masih butuh lebih banyak kajian. Kita pun melihat hubungan antara kasus baru dan angka kematian semakin kecil (decoupling)," terang Abdi Mahamud, Manajer Insiden WHO, seperti dikutip dari Reuters.

Para analis juga melihat Omicron tidak akan memberikan gangguan ke perekonomian sebesar varian sebelumnya. Hal ini tentunya menjadi kabar bagus, rupiah sebenarnya juga bisa diuntungkan.

Tetapi, jika perekonomian tidak terganggu, The Fed tentunya semakin besar berpeluang menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini, yang membuat rupiah tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular