Ini Fakta Penting Soal Bitcoin 2021 & Prediksinya Tahun 2022

chd, CNBC Indonesia
28 December 2021 13:10
Ilustrasi Bitcoin
Foto: Ilustrasi Bitcoin (Photo by André François McKenzie on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 bisa dikatakan merupakan tahun yang cukup bagus untuk kripto berkapitalisasi pasar paling besar di dunia yakni Bitcoin. Sepanjang tahun ini saja, Bitcoin sudah mengalami kenaikan sekitar 70%.

Bahkan, berkat melesatnya Bitcoin, nilai aset kripto keseluruhan pada tahun ini pun meningkat menjadi US$ 2 triliun.

Pada tahun ini juga menjadi momen bersejarah di pasar kripto, dimana perusahaan kripto terbesar di dunia, yakni Coinbase resmi go public alias listing di bursa Wall Street, Amerika Serikat (AS), di indeks Nasdaq Composite.

Adapun perdagangan perdana Coinbase di Nasdaq terjadi pada April lalu, di mana setelah listing di Wall Street, angka partisipasi investor yang tertarik berinvestasi pun bertambah signifikan.

Tak hanya dari investor individual atau ritel yang melonjak, investor institusi, utamanya dari bank-bank besar AS seperti Goldman Sachs.

Selain itu, pada tahun ini pula pasar Bitcoin berbasis exchange-traded fund (ETF) pun disetujui dan resmi diperdagangkan untuk pertama kalinya.

Tetapi, dibalik suksesnya Bitcoin pada tahun ini, adapula rintangan yang dihadapi oleh Bitcoin dan tentunya kripto lainnya, yakni tindakan keras para regulator.

Dari beragamnya peristiwa terkait kripto dan Bitcoin pada tahun ini, Tim Riset CNBC Indonesia pun merangkumnya dalam Kaleidoskop Bitcoin tahun 2021. Berikut peristiwa yang terjadi di Bitcoin pada tahun 2021.

1. Cetak Rekor Tertinggi Dua Kali Dalam Setahun.

Bisa dikatakan bahwa tahun 2021 merupakan tahun yang beruntung untuk Bitcoin. Pasalnya, Bitcoin berhasil mencetak rekor tertinggi barunya, di mana rekor tertinggi sebelumnya pernah digapainya pada akhir tahun 2017 silam, yakni di level US$ 20.000. Itupun hanya sekali dalam setahun.

Namun pada tahun ini, Bitcoin berhasil mencetak rekor tertinggi barunya hingga dua kali, meskipun tidak beruntun.

Pada April lalu, Bitcoin berhasil mencetak rekor tertinggi barunya di kisaran level US$ 64.000. Kapitalisasi pasarnya pun melonjak menjadi US$ 1,2 triliun pada saat itu.

Lalu pada November lalu, Bitcoin kembali mencetak rekor tertingginya lagi, di mana kali ini rekor tertingginya berada di kisaran level US$ 69.000, nyaris menyentuh US$ 70.000. Kapitalisasi pasar Bitcoin saat mencapai rekor tertinggi terbaru nyaris capai US$ 1,3 triliun.

2. Crash Kripto

Seperti pada tahun 2017 silam, setelah Bitcoin mencetak rekor tertinggi barunya, dalam beberapa hari hingga pekan kemudian, harganya langsung ambruk.

Setelah mencetak rekor barunya pada April lalu, harga Bitcoin langsung ambles dan pada bulan Juli lalu, Bitcoin sempat menyentuh level terendahnya sejak awal tahun 2021, yakni di kisaran level US$ 30.000.

Kemudian, setelah mencetak rekor tertinggi kedua kalinya pada November lalu, Bitcoin lagi-lagi kembali terkoreksi. Namun kini, koreksi Bitcoin tidak sampai menyentuh level terendahnya, di mana koreksi Bitcoin hanya mencapai kisaran level US$ 45.000.

Tak hanya di Bitcoin saja, periode crash tahun 2021 yang terjadi 'klimaks' pada Juli lalu juga terjadi di mayoritas kripto.

Crash yang terjadi di kripto pada Juli lalu disebabkan dari banyaknya kabar negatif, mulai dari tindakan keras regulator hingga merebaknya virus corona (Covid-19) varian Delta yang membuat selera risiko investor kembali memudar.

3. Upgrade Bitcoin

Tahun ini merupakan tahun di mana dua kripto terbesar yakni Bitcoin dan Ethereum melakukan proses pemutakhiran atau upgrade. Di Bitcoin sendiri, proses upgrade-nya diberi nama Taproot, sedangkan di Ethereum dijuluki Ethereum Improvement Proposal (EIP) 1559.

Mengutip Detik Finance,Taproot memperkenalkan apa yang disebut tanda tangan Schnorr, yang membantu transaksi Bitcoin menjadi lebih pribadi dan efisien, serta lebih murah.

Yang paling penting dari peningkatan ini adalah potensi lebih baiknya Bitcoin untuk mengeksekusi kontrak pintar atau kumpulan kode yang menjalankan serangkaian instruksi di blockchain.

4. Pasar ETF Bitcoin Berjangka Pertama di Dunia

Tahun ini merupakan tahun di mana pasar exchange-traded fund (ETF) berbasis Bitcoin berjangka pertama dibentuk, di mana perusahaan ETF Bitcoin pertama yang terdaftar dan diperdagangkan adalah ProShares Bitcoin Strategy.

Hingga menjelang akhir tahun 2021, baru ProShares saja yang sudah memperdagangkan ETF Bitcoinnya pada tahun 2021. Sedangkan untuk perusahaan ETF Bitcoin berjangka lainnya seperti Valkyrie Bitcoin Strategy ETF dan Grayscale Bitcoin Trust (GBTC) masih dalam proses pengajuan kepada Securities and Exchange Commission (SEC) Amerika Serikat (AS)

Sebelumnya pada Rabu, 15 Desember lalu, SEC AS menunda keputusannya untuk menerima proposal ETF spot di bursa Bitcoin, Grayscale Bitcoin Trust, salah satu perusahaan pengelola mata uang digital terbesar di dunia.

Meskipun SEC menunda pengesahaan ETF Bitcoin hingga tahun depan, tetapi hal ini dapat menjadi sentimen positif bagi Bitcoin untuk tahun 2022.

5. Tindakan Keras Para Regulator dan Alat Pembayaran Pertama di El Salvador

Regulator di beberapa negara yang seakan 'anti' terhadap kripto pun melakukan langkah tegasnya untuk membendung tren investasi aset digital ini. Pada tahun ini, negara yang melopori tindakan keras terhadap industri kripto yakni China.

China melakukan hal tersebut karena pasar kripto sendiri dapat mengancam sistem keuangan negaranya. Regulator China yang melakukan tindakan keras yakni bank sentral China (People Bank of China/PBoC),

Selain itu, pertambangan kripto yang kian masif juga membuat regulator China geram. Pasalnya, proses kegiatan penambangan kripto membuat emisi di China semakin meningkat. Hal ini juga dapat menganggu program pemerintah China untuk mengurangi emisi karbon, di mana China memiliki target nol emisi karbon pada tahun 2030.

Tindakan regulator China membuat negara-negara lainnya bergerak dengan sikap yang sama, yang pada umumnya dilakukan oleh bank sentral karena dapat mengancam peranan bank sentral itu sendiri.

Namun, ada beberapa negara yang malah mengakui keberadaan industri kripto, baik mata uang kripto maupun penambangannya.

Pada tahun ini, negara pertama yang secara resmi mengakui kripto sebagai alat pembayaran yang sah adalah El Salvador, di mana negara di kawasan Amerika Latin ini secara sah mengadopsi Bitcoin.

Bahkan setelah resmi diakui, pemerintah El Salvador berencana untuk membangun kota Bitcoin pertama di dunia.

Langkah El Salvador ini membuat beberapa negara ikut mendeklarasikan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Adapun negara-negara yang resmi mengakui keberadaan Bitcoin yakni Panama, Paraguay, Ukraina (bukan sebagai mata uang), Nigeria, dan Kanada.

Beberapa analis memperkirakan pasar kripto pada tahun depan akan tampak seperti periode roller-coaster yang lebih menantang. Adapun sentimen dari tindakan keras regulator dan potensi crash kripto juga akan berlangsung hingga tahun depan.

Berikut prediksi beberapa analis terkait sentimen yang akan mempengaruhi pasar kripto, utamanya Bitcoin pada tahun depan.

1. Crash Kripto Masih Akan Berlanjut?

Beberapa ahli percaya bahwa Bitcoin akan kembali mengalami penurunan tajam dalam beberapa bulan mendatang.

Bitcoin sempat melonjak ke rekor tertingginya nyaris US$ 69.000 pada November lalu. Kini, harganya berada di kisaran US$ 45.000-US$ 50.000.

Carol Alexander, profesor keuangan di Universitas Sussex memperkirakan bahwa harga Bitcoin akan turun ke level US$ 10.000 pada tahun 2022.

"Jika saya seorang investor Bitcoin, maka saya akan berpikir untuk segera keluar dari Bitcoin karena harganya mungkin akan kembali terjatuh pada tahun depan," kata Alexander, dikutip dari CNBC International.

Alexander memprediksi kejatuhan Bitcoin karena kripto berkapitalisasi pasar terbesar tersebut tidak memiliki nilai fundamental dan berfungsi lebih sebagai aset spekulasi dibandingkan dengan aset investasi.

Alexander memperingatkan bahwa sejarah dapat kembali berulang. Pada tahun 2018 silam, Bitcoin ambruk mendekati level US$ 3.000, setelah sempat melesat dan mencetak rekor tertinggi barunya kala itu, yakni di level US$ 20.000.

Namun, para pendukung cryptocurrency sering mengatakan bahwa hal-hal berbeda kali ini terjadi karena lebih banyak investor institusional terjun ke pasar kripto.

"Tanpa pertanyaan, grafik harga Bitcoin tampaknya mengalami banyak bubble dan kegagalan aset historis dan membawa narasi 'kali ini berbeda' seperti bubble lainnya," kata Todd Lowenstein, kepala strategi ekuitas dari cabang perbankan swasta Union Bank, dilansir dari CNBC International.

2. Perdagangan Spot Pertama di pasar ETF Bitcoin

Perkembangan besar yang diwaspadai investor kripto pada tahun 2022 adalah berlanjutnya persetujuan exchange-traded fund (ETF) di bursa Bitcoin.

Meskipun Komisi Sekuritas dan Bursa (Securities and Exchange Commission/SEC) AS memberi lampu hijau terkait peluncuran ETF Strategi Bitcoin ProShares pada tahun ini, tetapi produk tersebut dapat melacak kontrak berjangka Bitcoin daripada memberi investor paparan langsung ke mata uang kripto itu sendiri.

Futures adalah instrumen derivatif keuangan yang mewajibkan investor untuk membeli atau menjual aset di kemudian hari dan dengan harga yang disepakati.

Dengan melacak harga berjangka dan bukan Bitcoin itu sendiri, para ahli mengatakan bahwa ETF ProShares bisa terlalu berisiko bagi trader pemula, di mana para pemula ini banyak menginvestasikan dananya dalam pasar kripto.

"ETF Bitcoin Futures yang diluncurkan pada tahun ini cenderung tidak ramah untuk trader ritel, mengingat tingginya biaya perpanjangan kontrak yang berjumlah sekitar 5-10%," kata Vijay Ayyar, vice president pengembangan perusahaan dan ekspansi global di bursa kripto Luno.

Grayscale Investments telah mengajukan untuk mengubah bentuk usahanya, yang sebelumnya sebagai perusahaan dana Bitcoin terbesar di dunia, akan menjadi perusahaan ETF spot Bitcoin.

3. Rotasi ke DeFi Lebih Cepat

Seiring dengan terus berkembangnya industri kripto, pangsa pasar Bitcoin cenderung terus berkurang, tersaingi oleh mata uang digital lainnya seperti koin digital alternatif ethereum memainkan peran yang jauh lebih besar.

Alexander dari Universitas Sussex menandai bahwa Ethereum, Solana, Polkadot, dan Cardano sebagai token yang layak diperhatikan oleh investor pada tahun 2022.

"Ketika investor ritel mulai menyadari bahaya perdagangan Bitcoin, terutama di tempat yang tidak diatur, mereka akan beralih ke ... koin dengan blockchain lain yang sebenarnya memiliki peran penting dan mendasar dalam desentralized finance," kata Alexander.

"Pada tahun depan, saya memperkirakan bahwa kapitalisasi pasar Bitcoin akan menjadi setengah dari gabungan token kontrak pintar, seperti Ethereum dan Solana," tambah Alexander.

Adapun total dana yang disetorkan ke layanan DeFi melampaui US$ 200 miliar untuk pertama kalinya tahun ini dan para ahli memproyeksikan permintaan akan tumbuh lebih jauh pada tahun 2022.

4. Tindakan Keras Regulator Berlanjut?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, regulator beberapa negara telah bertindak lebih keras pada industri cryptocurrency pada tahun ini, dengan China sepenuhnya melarang semua aktivitas terkait kripto dan otoritas AS menindak aspek-aspek tertentu dari pasar. Analis memprediksi bahwa regulasi masih menjadi masalah utama pada tahun 2022 di industri kripto.

"2022 akan menjadi tahun yang besar di bidang regulasi, tidak diragukan lagi," kata Ayyar dari Luno.

"Minat dari berbagai pemerintah, dan terutama AS, untuk membawa regulasi ke ruang crypto belum lebih tinggi," tambah Ayyar.

Pada tahun ini pula, perusahaan blockchain Ripple bersitegang dengan pengawas AS atas XRP, mata uang kripto yang terkait erat dengannya. SEC menuduh XRP adalah keamanan yang tidak terdaftar dan bahwa token senilai US$ 1,3 miliar dijual secara ilegal oleh Ripple dan dua eksekutifnya.

Namun, para ahli mengatakan bahwa regulator pada tahun depan kemungkinan akan fokus pada koin digital berjenis stablecoin. Ini adalah token yang nilainya terkait dengan harga aset yang ada seperti dolar AS.

Tether, stablecoin terbesar di dunia, sangat kontroversial karena ada kekhawatiran tentang apakah ia memiliki aset yang cukup dalam cadangannya untuk membenarkan patoknya terhadap dolar.

"Tidak diragukan lagi pengawasan yang lebih ketat akan dilakukan di stablecoin, karena regulator melihat adanya tanda pada kesehatan agunan yang mendasarinya dan jumlah leverage yang digunakan," kata Lowenstein.

Sementara itu, regulator juga mulai meneliti ruang DeFi. Awal bulan ini, kelompok bank sentral Bank for International Settlements menyerukan peraturan DeFi, mengatakan khawatir tentang layanan yang memasarkan diri mereka sendiri sebagai "terdesentralisasi" ketika itu mungkin tidak terjadi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular