Nasib Sial Bitcoin, Ramalan Buruk Hingga Dibenci Regulator

chd, CNBC Indonesia
20 December 2021 12:35
Infografis/ Kejatuhan Harga Bitcoin dari Masa ke Masa/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Kejatuhan Harga Bitcoin dari Masa ke Masa

Jakarta, CNBC Indonesia - Bitcoin dalam sebulan terakhir masih mencoba untuk kembali setidaknya ke level psikologis US$ 50.000. Tetapi pada akhirnya kembali gagal menembus level tersebut.

Pada Kamis (16/12/2021) pekan lalu, Bitcoin kembali mencoba menembus kembali level kisaran US$ 50.000 dan nyaris menyentuhnya. Tetapi, Bitcoin hanya mampu bertahan di kisaran level US$ 49.000 pada saat itu.

Terlepas dari Bitcoin yang bersusah payah kembali ke kisaran level US$ 50.000, masih banyak sentimen negatif yang dapat memperberat kenaikan aset digital berkapitalisasi paling jumbo tersebut.

Sentimen negatif tersebut yakni potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral di beberapa negara maju. Seperti contoh bank sentral Amerika Serikat (AS), bank sentral Eropa, dan bank sentral Inggris.

Pada pekan lalu, yakni Kamis dini hari waktu Indonesia, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menegaskan bahwa pihaknya akan mempercepat proses pengurangan pembelian aset (quantitative easing/QE) atau tapering mulai bulan Desember tahun ini.

Meskipun tapering dipercepat, tetapi The Fed tidak akan menaikan suku bunga acuannya pada tahun ini. The Fed baru akan menaikan suku bunga acuan setidaknya pada pertengahan tahun 2022.

Sejalan dengan The Fed, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) juga akan mengurangi pembelian obligasinya. Tetapi pengurangan pembelian obligasi ini hanya untuk dana darurat pandemi saja, sedangkan untuk pembelian aset masih akan dilakukan oleh ECB.

Namun untuk bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sendiri sudah lebih dahulu bersikap hawkish, di mana bank sentral Negeri Jam Big Ben tersebut telah menaikan suku bunga acuannya dari 0,1% menjadi 0,25%.

Hal ini juga menjadi kenaikan yang pertama di antara bank sentral negara maju sejak era pandemi di tengah lonjakan inflasi negara tersebut.

Pemicu perubahan kebijakan moneter menjadi ketat tersebut terjadi setelah inflasi Inggris per November menyentuh level tertinggi 10 tahun pada 5,1% atau lebih tinggi dari target BoE yang memperkirakan angka 2%, dan juga lebih tinggi dari posisi Oktober sebesar 4,2%.

Tak hanya sentimen negatif saja, banyak pihak yang juga seakan membenci akan keberadaan Bitcoin.

Ramalan-ramalan beberapa pengamat pun cenderung negatif ke Bitcoin. Salah satunya yakni Eswar Prasad, profesor senior kebijakan perdagangan internasional Cornell University. Dia mengatakan bahwa Bitcoin akan berumur pendek.

"Bitcoin sendiri mungkin tidak bertahan lebih lama," kata Prasad dalam wawancara 'Squawk Box Europe', dikutip dari CNBC International, akhir pekan lalu.

Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi itu. Bitcoin kurang ramah lingkungan dan tidak efisien.

"Penggunaan Bitcoin atas teknologi blockchain sangat tidak efisien," kata penulis "The Future of Money: How the Digital Revolution is Transforming Currencies and Finance" itu.

"Jejak karbon Bitcoin lebih besar dari seluruh Selandia Baru."

Bitcoin juga dikatakannya tak berfungsi dengan baik sebagai alat tukar. Ia berujar tak ada nilai fundamentalnya.

"Mengingat bahwa Bitcoin tidak berfungsi dengan baik sebagai alat tukar, saya tidak berpikir itu akan memiliki nilai fundamental selain dari keyakinan investor apa pun yang dimilikinya," kata Prasad lagi.

Ia yakin Bitcoin akan tergerus ratusan kripto lain yang kini muncul dengan sejumlah keunggulan. Namun, ia tak memungkiri Bitcoin telah memicu revolusi yang menguntungkan, langsung maupun tidak langsung.

Tak hanya ramalan dari seorang profesor, regulator beberapa negara juga terus menindak kripto termasuk Bitcoin, karena dapat mengancam stabilitas keuangan negara.

Adapun regulator yang kembali menindak Bitcoin yakni bank sentral Rusia (Bank Sentral Federasi Rusia) yang menegaskan masa depan kripto akan suram.

Aset kripto, yang kerap menjadi alat kegiatan ilegal seperti perdagangan senjata, narkotika, pencucian uang, dan sebagainya akan sulit diterima sebagai alat pembayaran yang sah.

"Kami tidak menyarankan pelaku ekonomi Rusia menggunakan atau berinvestasi mata uang kripto. Hal ini bisa dituangkan dalam kebijakan," tegas Gubernur Bank Sentral Rusia, Elvira Nabiullina, seperti dikutip dari Reuters Kamis lalu.

Valeriy Lyakh, Kepala Divisi Penindakan Penyimpangan Pasar Keuangan Bank Sentral Rusia, menyatakan investasi aset kripto adalah murni penipuan dan piramida keuangan. Pasar kripto tidak memiliki regulasi dan sangat volatil.

"Kami berpandangan negatif terhadap mata uang kripto. Kami tidak mendukung segala bentuk peredarannya di negara ini," kata Lyakh, sebagaimana diwartakan media tersebut.

Oleh karena itu, sejumlah sumber mengungkapkan Rusia segera bersiap untuk mengeluarkan aturan pelarangan terhadap aset kripto. Seorang sumber menyatakan posisi bank sentral Rusia sepenuhnya menolak segala bentuk aset kripto.

Sikap keras bank sentral Rusia terhadap aset kripto tersebut menambah deretan sikap dari regulator beberapa negara yang cenderung tidak suka akan keberadaan aset digital, termasuk Bitcoin. Hal ini juga menyusul tindakan keras regulator China yang telah dilakukan secara masif sebelumnya terhadap industri kripto.


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gerak Kripto Masih Kayak Gini, Susah Bikin Kaya Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular