
Kuasa Hukum Heru Hidayat: Tuntutan Hukuman Mati itu Zalim!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuasa hukum terdakwa kasus korupsi PT Asabri (Persero) Heru Hidayat, Kresna Hutauruk keberatan terkait tuntutan pidana hukuman mati kepada kliennya.
Dia menilai, tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai pidana hukuman mati menyimpang. Sebab sejak awal JPU tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam Surat Dakwaannya.
"Tuntutan hukuman mati itu zalim," kata Kresna, saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (14/12/2021).
Ia menambahkan, setelah pembacaan pleideoi, agenda persidangan pada Rabu (15/12/2021) adalah pembacaan replik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kresna juga mengungkapkan, tuntutan JPU bahwa perkara ini adalah pengulangan tindak pidana sangat keliru. Ini karena tempus perkara ini adalah 2012-2019, sebelum terdakwa Heru dihukum di kasus Asuransi Jiwasraya.
Sedangkan, yang dimaksud pengulangan tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan setelah seseorang divonis, sehingga perkara ini bukan pengulangan tindak pidana.
"Para pakar hukum sudah berpendapat kalau tuntutan mati tidak bisa diterapkan terhadap Pak Heru karena tidak pernah didakwakan JPU dan tidak termasuk kualifikasi pengulangan tindak pidana," beber advokat dari NKHP Law Firm ini.
Kuasa hukum juga membantah tuduhan JPU bahwa Heru menikmati uang sebesar Rp 12 triliun lebih. Tuduhan itu keliru lantaran dalam perkara ini JPU tidak pernah dan tidak mampu membuktikan adanya aliran uang senilai Rp 12 triliun kepada Heru. Selain itu, tidak ada saksi ataupun bukti surat yang menunjukkan adanya aliran uang.
"Kami berharap agar majelis hakim dapat memutus perkara ini sesuai dengan koridor hukum dan fakta yang terjadi dalam persidangan ini sehingga menghasilkan putusan yang adil," katanya.
Sebelumnya, JPU menuntut pidana hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat di kasus korupsi PT Asabri (Persero). Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) itu disebut secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama mantan Direktur Utama Asabri, Adam Damiri dan Sonny Widjaja yang menyebabkan negara mengalami kerugian senilai Rp 22,7 triliun.
Dalam pertimbangannya, Jaksa membeberkan alasan pemberatan pidana dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, perbuatan terdakwa dalam perkara ini telah berakibat pada kerugian keuangan negara sangat besar seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083,00 di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati terdakwa sebesar Rp.12.643.400.946.226.
Nilai kerugian keuangan negara dan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa sangat jauh di luar nalar kemanusiaan dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kedua, terdakwa juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis yaitu telah merugikan keuangan sebesar Rp.16.807.283.375.000,00 dengan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa seluruhnya sebesar Rp.10.728.783.375.000.,00.
Ketiga, bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT. Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrumen pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas.
(sys/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nikmati Rp12,6 T, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati!