'Hantu' Inflasi Lepas dari Kekangan, Aset Ini Masih Moncer?

adf, CNBC Indonesia
12 December 2021 15:30
Emas Batangan di toko Degussa di Singapur, 16 Juni 2017 (REUTERS/Edgar Su)

Jakarta, CNBC Indonesia - Angka inflasi di Amerika Serikat (AS) teranyar mencatatkan rekor tertinggi dalam 39 tahun terakhir di tengah permintaan konsumen yang kuat dan diperparah dengan kendala pasokan terkait pandemi. Hal tersebut turut membuat investor khawatir terhadap portofolio investasi mereka ke depan.

Departemen Tenaga Kerja AS mengatakan indeks harga konsumen - yang mengukur besaran yang dibayarkan konsumen untuk barang dan jasa - naik 6,8% pada November dari bulan yang sama tahun lalu.

Kenaikan tersebut adalah laju tercepat sejak 1982. Selain itu, kenaikan tersebut merupakan yang keenam bulan berturut-turut di mana inflasi mencapai 5%.

Core Price Index (CPI), yang tidak menghitung inflasi di kategori makanan dan energi yang volatil, naik 4,9% pada November dari tahun sebelumnya. Itu adalah peningkatan yang lebih tajam dari kenaikan 4,6% pada Oktober, dan juga laju tertinggi sejak 1991 di Amerika Serikat.

Kenaikan harga terbesar adalah untuk kendaraan baru, yang mencapai 11,1% pada bulan November, dengan beberapa harga terkait energi menunjukkan tanda-tanda pelonggaran.

Tren kenaikan harga di bulan November terjadi sebelum munculnya varian Omicron, yang menimbulkan ancaman baru dari pandemi yang sudah memasuki tahun kedua.

Kenaikan harga yang tajam ini merupakan hasil dari ekonomi AS yang berkembang pesat di tengah mulai pulihnya ekonomi global dari pandemi dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam rantai pasokan.

Tingginya laju Inflasi AS menjadi sinyal kuat bagi pejabat Federal Reserve segera mempercepat laju tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE), membuka jalan untuk menaikkan suku bunga tahun depan untuk mengekang inflasi agar terkendali.

Bagaimana dengan Inflasi di Indonesia?

Dibandingkan AS dan sejumlah negara utama lainnya, sebenarnya, di Indonesia sendiri tingkat inflasi masih tergolong rendah.

Pada 1 Desember 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka inflasi Indonesia periode November 2021. Hasilnya tidak jauh dari ekspektasi pasar.

Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan terjadi inflasi 0,37% pada November 2021 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Dibandingkan November 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi adalah 1,75%.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan sebesar 0,31%. Sementara inflasi tahunan diperkirakan 1,7%.

Sebelumnya, pada pertengahan bulan lalu, Bank Indonesia (BI) menyatakan, pihaknya tidak bahagia dengan situasi inflasi nasional yang amat rendah. Ini menunjukkan ekonomi tidak sepenuhnya pulih seperti yang diharapkan.

"Range kita 2-4%. Artinya kalau di bawah 2%, sebenarnya bagi kami di bank sentral tidak happy," ungkap Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI dalam webinar bertema Sinergi Pemerintah, BI, dan OJK dalam Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional, Jumat (19/11/2021)

Rendahnya inflasi, menurut Dody menjadi indikasi masih lemahnya permintaan oleh masyarakat.

"Artinya permintaan masih rendah, ekonomi belum berjalan. Kita minta yang fit di Indonesia pada kisaran adalah 2-4%. Okelah di batas bawah 2% sudah cukup baik," jelasnya.

Kendati demikian, pada kesempatan lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, tahun depan sederet tekanan ekonomi akan menghantui. Salah satunya kenaikan inflasi.

Perry menjelaskan, kemungkinan akan terjadinya kenaikan inflasi di tanah air pada Semester II-2022, disebabkan karena adanya kenaikan harga energi.

"Dari waktu ke waktu, ada risiko tekanan inflasi pada paruh kedua tahun depan, karena kenaikan harga energi atau kenaikan permintaan lebih cepat," ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (29/11/2021).

Selain risiko inflasi, ekonomi di tanah air juga akan menghadapi risiko dari pengurangan likuiditas bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang berpotensi mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Kendati demikian, kata Perry, BI akan berkomitmen untuk terus menjaga indikator asumsi makro agar sesuai dalam APBN 2022, meliputi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, inflasi sebesar 3%, kinerja nilai tukar rupiah dengan rata -rata sepanjang tahun depan sebesar Rp 14.350.

Nah, berkaca pada pembahasan di atas, kira-kira aset apa yang bisa dijadikan sebagai lindung nilai (hedge) dari inflasi saat ini?

Lanjutkan membaca di halaman berikutnya >>>

Salah satu aset tradisional yang sudah lama digunakan untuk lindung nilai dari inflasi adalah emas. Saat suatu mata uang mengalami devaluasi, misalnya, maka emas cenderung menunjukkan kinerja yang baik.

Mari kita tengok ke belakang sejenak.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia sebelumnya, saat krisis minyak mentah tahun 1973 dan 1974, harga emas mencatat kenaikan masing 72% dan 66%. Kemudian saat inflasi tinggi melanda Amerika Serikat (AS) pada 1978 hingga akhirnya mengalami resesi di 1980 harga emas melesat nyaris 180%.

Di era millennium, krisis finansial global yang melanda di tahun 2007 dan 2008 harga emas mencatat kenaikan 36%, bahkan terus menanjak hingga tahun 2012, dan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa setahun sebelumnya.

Emas Bakal Sentuh US$ 2.000/ounce Tahun Depan?

Nah, di tengah monster inflasi AS 'keluar dari kandangnya', Christopher Ecclestone, Principal and Mining Strategist di Hallgarten & Co meramal, kebijakan moneter ketat ala The Fed tidak akan serta merta menurunkan harga emas.

"Hanya ada satu alasan mengapa harga emas akan turun, dan itu adalah jika bank sentral menekan inflasi, dan itulah yang telah mereka lakukan sejauh ini," Ecclestone menjelaskan kepada Kitco.

"Namun seperti yang kita lihat inflasi terus meningkat, terutama di AS dan Inggris, itu menjadi tidak terkendali. Hanya suku bunga yang lebih tinggi yang akan menjaga inflasi tetap rendah."

Dalam hal inflasi dan dampak ekonominya, Ecclestone menyatakan bahwa investor yang memiliki keyakinan bahwa The Fed akan mampu mengendalikan inflasi adalah keliru.

Ecclestone mencatat bahwa sebagian besar investor menggunakan emas sebagai alat menabung.

"Secara tradisional, emas telah menjadi lindung nilai terhadap inflasi. Ada pandangan keliru bahwa suku bunga yang lebih tinggi akan berdampak pada harga emas karena diduga orang meminjam uang untuk membeli emas yang benar-benar konstruksi palsu," katanya.

Selama tahun depan, Ecclestone memprediksi emas mencapai US$ 2.000 per ounce dan kemudian naik menuju level US$ 3.000 dalam empat tahun ke depan.

Setali tiga uang, bank investasi top asal Prancis, Societe Generale (SocGen) juga memprediksi harga emas akan terbang dalam tiga hingga enam bulan ke depan.

SocGen memprediksi harga emas di semester I-2022 akan mencapai US$ 1.900/troy ons atau naik sekitar 7% dari level penutupan kemarin. Pada bulan lalu, SocGen juga menyatakan emas bisa mencapai US$ 1.945 di kuartal I-2022. Artinya, ada potensi kenaikan nyaris 10% dalam tiga bulan ke depan

SocGen menegaskan meski harga emas tertekan di 2021, tetapi masih optimistis akan kenaikan harga emas akibat suku bunga rill yang rendah.

Dorongan dari 'Raja Obligasi'

Investor emas juga patut optimistis, sebab triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi", melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan. Gundlach juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan.

The Fed yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga secara agresif di tahun depan guna meredam inflasi tersebut menurut Gundlach malah akan menimbulkan masalah bagi perekonomian.

"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).

Selain itu, ia juga memperkirakan dolar AS akan jeblok di tahun depan akibat dobel defisit yang dialami Amerika Serikat. Dolar AS yang cukup kuat di tahun ini menjadi salah satu yang meredam kenaikan harga emas.

"Dolar AS meredam kenaikan emas. Saya pikir ketika dolar AS turun maka emas akan kembali naik," tambahnya.

Inflasi tinggi, masalah di perekonomian, serta dolar AS yang diprediksi akan merosot menjadi bahan bakar bagi emas untuk kembali meroket. Gundlach sendiri masih mempertahankan investasi emasnya untuk jangka panjang. Terakhir kali ia membeli emas pada September 2018 di harga US$ 1.180/troy ons.

Melansir data Refinitiv, pekan ini pergerakan emas relatif flat. Dalam sepekan harga logam mulia ini terapresiasi tipis 0,35%, dengan harga pada Jumat (10/12) kemarin naik 0,45% menjadi US$ 1,782.51 per ons.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diterpa Banjir dan Kasus Baru Covid, Bursa Eropa Dibuka Merah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular