Jelang Rilis Data Inflasi AS, Harga Mayoritas SBN Menguat
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup menguat pada perdagangan Jumat (10/12/2021) akhir pekan ini, di mana investor cenderung menahan selera risikonya dan lebih memilih memburu pasar obligasi pemerintah jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) periode November 2021.
Mayoritas investor kembali ramai memburu SBN, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN pada hari ini. Hanya SBN bertenor 25 tahun yang cenderung dilepas oleh investor dan mengalami kenaikan yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 25 tahun menguat sebesar 2,3 basis poin (bp) ke level 7,221% pada perdagangan hari ini. Sementara, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali turun sebesar 2,1 bp ke level 6,308% pada hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pelaku pasar cenderung menahan selera risikonya dan memilih untuk memegang aset safe haven, di tengah hadirnya beberapa sentimen negatif dari luar negeri.
Dari China, perusahaan pengembang properti terbesar kedua di Negeri Panda, yakni China Evergrande Group terkena pemangkasan peringkat oleh lembaga pemeringkat internasional, yakni Fitch Ratings, di mana Evergrande terindikasi gagal bayar (default), setelah sebelumnya melewatkan pembayaran obligasi dalam dolar Amerika Serikat (AS).
Kamis (9/12/2021) kemarin, atau tiga hari setelah jatuh tempo obligasi luar negerinya yakni pada Senin (6/12/2021), Evergrande seakan diam dan tidak mengeluarkan pernyataan resmi apa pun. Hal ini pun memaksa lembaga pemeringkatan internasional tersebut untuk menurunkan peringkat utang Evergrande.
Fitch Ratings dalam pernyataannya mengatakan bahwa mereka telah menempatkan pengembang properti China tersebut dalam kategori 'restricted default/RD'.
Penurunan peringkat tersebut menandakan bahwa Evergrande secara resmi default, tetapi hal tersebut belum termasuk segala jenis pengajuan kebangkrutan, likuidasi atau proses lain yang akan menghentikan operasinya.
Selain dari China, sentimen kurang mendukung juga datang dari Amerika Serikat (AS), di mana pelaku pasar cenderung wait and see jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) periode November 2021.
Departemen Tenaga Kerja AS akan merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) periode November pada malam hari ini pukul 20:30 WIB. Ekonom dalam survey Dow Jones memperkirakan IHK tersebut akan melesat 6,7% secara tahunan, menjadi penguatan yang terbesar sejak Juni 1982. Inflasi bulanan diprediksi sebesar 0,7%.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan risiko bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan bergerak lebih cepat dari yang sudah diantisipasi. Pejabat The Fed diperkirakan akan bereaksi terhadap ledakan inflasi dengan mengumumkannya pada pekan depan bahwa The Fed akan mulai menarik kembali stimulus ekonominya.
Langkah pertama adalah mempercepat pengurangan pembelian obligasi bulanan atau tapering. Pasar memprediksi bahwa The Fed akan menggandakan tapering menjadi US$ 30 miliar.
Hal itu dapat juga membuka jalan bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang ditentukan sebelumnya. Berdasarkan poling Reuters, pelaku pasar memperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS (Federal Funds Rate/FFR) bakal terjadi pada kuartal III-2022, lebih cepat dari ekspektasi sebelumnya di kuartal IV-2022.
Ada indikasinya percepatan tapering dan tentunya kenaikan suku bunga The Fed yang dipercepat membuat investor di AS pada hari ini cenderung melepas kepemilikannya di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam (Treasury).
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury acuan bertenor 10 tahun cenderung naik 2,9 bp ke level 1,516% pada pukul 06:05 waktu setempat, dari sebelumnya pada perdagangan Kamis (9/12/2021) kemarin di level 1,489%.
Sedangkan yield Treasury berjatuh tempo 30 tahun juga cenderung menguat sebesar 2,1 bp ke level 1,887% pada pagi hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan kemarin di level 1,866%.
Sebagai informasi saja, inflasi yang cenderung lebih tinggi membuat aset pendapatan tetap seperti obligasi negara menjadi cenderung tidak menarik karena keuntungan riil (real return) dari imbal hasilnya pun terhitung lebih rendah dari tingkat inflasi tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)