
Ikuti Tren Asia, IHSG Berakhir Melemah di Sesi Pertama

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah pada penutupan perdagangan sesi pertama Jumat (10/12/2021), di tengah kekhawatiran memburuknya pandemi di beberapa negara maju.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.612,159 atau turun 31,8 poin (-0,48%) pada penutupan siang. Dibuka melemah 0,38% ke 6.618,686, indeks acuan utama bursa ini tak pernah sekalipun mencicipi zona hijau.
IHSG sempat menyentuh level terendah hariannya pada 6.605,416 jelang pukul 11:00 WIB. Komposisi arah pergerakan saham cenderung imbang, yakni sebanyak 243 unit, sementara 242 lain menguat, dan 177 sisanya flat.
Nilai perdagangan masih terbatas di level Rp 6,8 triliun dengan melibatkan 15 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 837.000-an kali. Investor asing hari ini masih mencetak penjualan bersih (net sell), senilai Rp 472,28 miliar.
Saham yang mereka lego terutama adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 176,9 miliar dan Rp 125,2 miliar. Keduanya tertekan, masing-masing sebesar 0,68% dan 0,95% ke Rp 7.300 dan Rp 4.150/saham.
Sebaliknya, saham yang masih mereka buru antara lain PT Yuli Sekuritas Indonesia Tbk (YULE) dan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) dengan nilai pembelian bersih masing-masing Rp 32,7 miliar dan Rp 14,4 miliar. Keduanya melesat, masing-masing sebesar 2,14% dan 8,16% ke Rp 955 dan Rp 4.240/saham.
Dari sisi nilai transaksi, saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan BBCA memimpin dengan total nilai perdagangan masing-masing sebesar Rp 364,1 miliar dan Rp 321,2 miliar, diikuti PT Bank Jago Tbk (ARTO) senilai Rp 275,1 miliar.
Koreksi IHSG terjadi bersamaan dengan tren pelemahan di bursa Asia. Indeks KOSPI Korea Selatan memimpin koreksi, setelah tertekan hingga 0,63%, disusul indeks Nikkei Jepang yang turun sebesar 0,57%.
Pasar masih wait-and-see jelang rilis inflasi Amerika Serikat (AS), yang bisa memicu "pertaruhan kenaikan Fed Rate." Pasar memprediksi laju pengereman likuiditas di pasar (tapering) akan diperkuat 2 kali, diikuti kenaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate).
Ekonomi dalam survey Dow Jones memperkirakan indeks harga konsumen AS per November akan melesat 6,7% secara tahunan, menjadi penguatan yang terbesar sejak Juni 1982. Inflasi bulanan diprediksi sebesar 0,7%.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi akan bereaksi terhadap lonjakan inflasi tersebut, dengan memangkas pembelian surat berharga di pasar dari US$ 120 miliar menjadi US$ 30 miliar. Jika itu terjadi, capital outflow dalam skala masif berpeluang terjadi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Market Focus: Risiko Inflasi RI Hingga THR dari Emiten