Inflasi RI Kembali Naik, Harga Mayoritas SBN Melemah
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup melemah pada perdagangan Rabu (1/12/2021), setelah rilis data inflasi Indonesia yang kembali meningkat pada November 2021.
Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan kembali menguatnya imbal hasil (yield) SBN acuan. Hanya SBN bertenor 3 dan 25 tahun yang ramai dikoleksi oleh investor, ditandai dengan pelemahan yield-nya.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun 0,5 basis poin (bp) ke level 3,727%, sedangkan yield SBN berjatuh tempor 25 tahun juga melemah 0,5 bp ke level 7,192%. Sementara, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 2,6 bp ke level 6,293%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi RI periode November 2021 naik menjadi 1,75% secara tahunan (year-on-year/YoY), dari sebelumnya pada November 2020 sebesar 1,66%. Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi RI pada November 2021 naik menjadi 0,37%, dari sebelumnya pada Oktober 2021 sebesar 0,12%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan sebesar 0,31%. Sementara inflasi tahunan diperkirakan 1,7%. Selain itu BPS juga melaporkan inflasi inti tumbuh 1,44% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 1,33%.
Inflasi inti berisi kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun, persisten. Kenaikan inflasi inti bisa menjadi indikasi membaiknya daya beli masyarakat.
Meskipun menjadi sentimen positif bagi pasar saham RI dan rupiah, tetapi kenaikan inflasi RI menjadi sentimen negatif bagi pasar obligasi pemerintah Indonesia. Walaupun inflasi RI masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan inflasi negara-negara besar lainnya, tetapi angka inflasi yang sudah mendekati 2% juga dicermati oleh pasar.
Inflasi yang mulai meninggi membuat aset pendapatan tetap seperti obligasi negara menjadi kurang menarik, karena keuntungan riil (real return) dari imbal hasilnya pun terhitung lebih rendah. Oleh karena itu, investor di pasar SBN cenderung kembali melepas kepemilikannya hari ini, meskipun sentimen di pasar global cenderung ke arah negatif.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (Treasury) berbalik menguat setelah sempat turun cukup signifikan pada perdagangan Selasa (30/11/2021) kemarin waktu AS.
Menguatnya yield Treasury terjadi karena investor menanggapi dari rencana bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang berencana mempercepat program pengurangan pembelian obligasinya (tapering), meskipun pasar masih dibayangi oleh kekhawatiran dari virus corona (Covid-19) varian Omicron.
Data dari CNBC International menunjukkan yield obligasi pemerintah AS (Treasury) acuan bertenor 10 tahun naik sebesar 5,3 bp ke level 1,494% pada pukul 06:10 waktu setempat, dari sebelumnya pada perdagangan Selasa (30/11/2021) kemarin di level 1,441%.
Sedangkan yield Treasury berjatuh tempo 30 tahun juga menguat 4,1 bp ke level 1,827% pada pagi hari ini, dari sebelumnya pada Selasa kemarin di level 1,786%.
Ketua The Fed, Jerome Powell dalam pidatonya di hadapan komite Senat, mengatakan bahwa pengurangan laju pembelian obligasi bulanan bisa dilakukan lebih cepat dari jadwal yang sudah ditetapkan yakni secara bertahap hingga pertengahan tahun 2022, di mana obligasi akan berkurang sebesar US$ 15 miliar per bulan.
"Pada titik ini, ekonomi sangat kuat dan tekanan inflasi lebih tinggi, dan oleh karena itu, menurut pandangan saya, mempertimbangkan untuk mengakhiri pembelian aset kami ... mungkin beberapa bulan lebih cepat," kata Powell, dilansir CNBC International.
Dengan demikian, komentar Powell di atas menunjukkan bahwa fokus The Fed kini telah berubah untuk memerangi inflasi dan dampak negatifnya ketimbang potensi gangguan dalam kegiatan ekonomi akibat adanya varian baru Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)