
Investor Buru Kembali SBN, Harga Mayoritas SBN Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) berbalik menguat pada perdagangan Selasa (23/11/2021), karena investor di pasar SBN juga masih berusaha mencerna sentimen dari kembali dipilihnya Jerome Powell sebagai ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) oleh Presiden Joe Biden.
Mayoritas investor di pasar SBN ramai memburu surat berharga pemerintah pada hari ini, di tandai dengan menurunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 5 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, di tandai dengan kenaikan yield-nya.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 5 tahun menguat 1,3 basis poin (bp) ke level 4,788% pada hari ini. Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun cenderung stagnan di level 7,128%.
Sementara, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik melemah 1,2 bp ke level 6,177%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pelaku pasar baik di Amerika Serikat (AS), Asia, dan tentunya di dalam negeri masih berusaha mencerna sentimen dari kembali terpilihnya Jerome Powell sebagai ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) hingga empat tahun mendatang.
Presiden AS, Joe Biden mengumumkan pada hari ini bahwa ia telah mencalonkan kembali Powell sebagai ketua The Fed untuk masa jabatan empat tahun ke depan. Sementara itu Lael Breinard, yang juga menjadi pesaing terkuat Powell dinominasikan oleh Gedung Putih sebagai Wakil Ketua.
Selanjutnya Powell dan Brainard harus mendapat restu terlebih dahulu dari Senat yang saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat (partainya Joe Biden). Meskipun saat ini suara Senat AS masih terpecah sehingga membuat risiko ketidakpastian tetap membayangi pasar.
Di bawah kepemimpinan Biden dan tentunya Powell sebagai ketua The Fed, ekonomi AS berhasil pulih dengan sangat cepat di saat pandemi virus corona (Covid-19) melanda.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS berhasil ditekan sehingga tetap berada di level yang rendah dan borrowing cost menurun membuat bangkitnya perekonomian AS juga diikuti dengan perbaikan pasar tenaga kerjanya.
Namun, konsekuensi dari kebijakan moneter ultra longgar dan ekspansif a la The Fed yang menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan Negeri Paman Sam juga menimbulkan kenaikan inflasi. Tantangan The Fed saat ini adalah mengendalikan inflasi.
Lonjakan harga yang terjadi di AS yang tercermin dari kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS hingga 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada bulan lalu memantik kecemasan para pelaku pasar. Inflasi sudah berada jauh dari target sasaran bank sentral di 2%.
Pasar kini mulai mengantisipasi bahwa The Fed bisa saja lebih agresif dari yang diperkirakan dengan menaikkan suku bunga acuan (Federal Fund Rates/FFR) hingga 3x tahun depan guna menjinakkan setan inflasi yang terus menghantui perekonomian.
Inflasi yang tinggi adalah momok bagi seluruh pelaku ekonomi. Bagi pengambil kebijakan inflasi yang tinggi bakal membuat output perekonomian menjadi maksimal. Bagi konsumen, inflasi yang tinggi berarti melemahnya daya beli. Sementara bagi investor dan pelaku usaha, tingginya inflasi akan menggerus marjin laba.
Inflasi yang meninggi juga membuat aset pendapatan tetap seperti obligasi negara menjadi kurang menarik karena keuntungan riil (real return) dari imbal hasilnya pun terhitung lebih rendah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Rilis Data Inflasi AS, Yield SBN Lanjut Melandai