Bursa Asia Berakhir Cerah, Hanya Hang Seng yang Terkoreksi
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia ditutup di zona hijau pada perdagangan Senin (22/11/2021),di mana pelaku pasar Asia cenderung mengabaikan dari sentimen kenaikan kembali kasus virus corona (Covid-19) di Eropa yang dapat mengurangi optimisme pasar terhadap pemulihan ekonomi global.
Indeks Nikkei Jepang ditutup naik tipis 0,09% ke level 29.774,11, Shanghai Composite China melesat 0,61% ke 3.582,08, Straits Times Singapura tumbuh 0,15% ke 3.237,08, KOSPI Korea Selatan melonjak 1,42% ke 3.013,25, dan Indeks Harga Saham Gabungan juga naik tipis 0,05% ke posisi 6.723,39.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng ditutup melemah 0,39% ke level 24.951,34 pada perdagangan hari ini.
Indeks Hang Seng ditutup di zona merah karena diperberat oleh koreksinya saham raksasa teknologi China yang terdaftar di indeks Hang Seng, di mana saham Meituan menjadi yang paling parah penurunannya dan menyeret indeks Hang Seng menjelang rilis kinerja keuangan kuartal III-2021 pada akhir pekan ini.
Saham teknologi delivery makanan terbesar di China tersebut ditutup ambles 2,4%, jelang rilis kinerja keuangan kuartal III-2021 yang akan dirilis pada Jumat (26/11/2021) pekan ini.
Investor di China dan Hong Kong menjadi lebih waspada terhadap kinerja keuangan kuartal III-2021 dari perusahaan raksasa teknologi China, dengan Alibaba Group merosot lebih dari 10% pada pekan lalu karena pendapatan mereka yang meleset dari ekspektasi dan meningkatkan kekhawatiran tentang peraturan Beijing terhadap perusahaan teknologi besar di China.
Secara terpisah, regulator pasar China pada hari Sabtu (20/11/2021) lalu mengatakan pihaknya telah mendenda perusahaan teknologi besar China, termasuk Alibaba, Baidu dan JD.com, karena gagal menyatakan sebanyak 43 kesepakatan kepada pihak berwenang dan menganggap mereka melanggar undang-undang anti-monopoli.
Berbeda di Hang Seng, indeks KOSPI kembali memimpin penguatan bursa Asia pada hari ini, ditopang oleh saham sektor produsen chip kelas berat yang mengikuti saham serupa di Amerika Serikat (AS). Bahkan, kenaikan saham chip di Korea Selatan lebih tinggi dari AS di tengah prospek cerah untuk permintaan chip memori.
Saham raksasa chip, Samsung Electronics melonjak 5,62% ke level tertinggi selama tujuh pekan terakhir, sementara saham serupa yakni SK Hynix juga melompat lebih dari 7% menjadi level tertingginya dalam 15 pekan terakhir.
Sementara saham kelas berat Negeri Ginseng, yakni saham platform Naver dan pembuat mobil, Hyundai Motor masing-masing melesat 1,49% dan 4,3%.
Adapun dari China, bank sentral Negeri Panda memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga pinjaman dasar acuannya (Loan Prime Rate/LPR). Untuk LPR bertenor 1 tahun tetap di level 3,85%, sedangkan LPR berjatuh tempo 5 tahun tetap di level 4,65%.
Secara mayoritas, pelaku pasar di Asia cenderung optimis pada hari ini, meskipun sentimen di global tidak mendukung.
Pada Jumat (19/11/2021) pekan lalu, bursa saham AS, Wall Street ditutup beragam dengan mayoritas melemah karena investor kembali khawatir dengan peningkatan kasus virus corona (Covid-19) di Eropa yang turut membebani pasar global.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) merosot 0,75% ke level 35.601,98 dan S&P 500 melemah 0,14% ke level 4.697,95. Namun, saham-saham teknologi masih berhasil finish di zona hijau dan membuat indeks Nasdaq Composite ditutup menguat 0,4% ke level 16.057,44.
Berita negatif yang datang dari Eropa dan tak kompaknya saham-saham di bursa saham AS seharusnya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi bursa saham Asia. Tetapi pada hari ini, pelaku pasar Asia cenderung mengabaikan sentimen tersebut.
Sebelumnya pada pekan lalu, kasus virus corona (Covid-19) di Benua Eropa melonjak puluhan kali lipat dan membuat pemerintah di berbagai negara kembali mengambil tindakan tegas.
Austria menjadi sorotan dunia setelah memilih kembali mengimplementasikan karantina wilayah (lockdown) berskala nasional. Sementara itu Jerman memilih untuk membatasi mobilitas masyarakat yang belum divaksinasi.
Kecemasan akan kembalinya lockdown berskala global juga merembet ke pasar komoditas. Harga kontrak berjangka (futures) minyak mentah pun ambrol ke level di bawah US$ 80/barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)