Energi Hijau Belum Stabil, Batu Bara Belum Tergantikan

Teti Purwanti, CNBC Indonesia
Kamis, 18/11/2021 19:11 WIB
Foto: Kapal tongkang Batu Bara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak negara memutuskan untuk berhenti menggunakan bata bara untuk mempercepat transisi energi terbarukan, tidak terkecuali Indonesia. Pemerintah berencana untuk 'mempensiunkan' beberapa Pembangkit Listri Tenaga Uap (PLTU) sebagai langkah nyata mengurangi emisi.

Sementara itu, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mengatakan bahwa gerakan tersebut memang sudah terjadi selama 5-6 tahun terakhir. Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava mengatakan kalau selama ini, batu bara dianggap menjadi sebagai kontributor utama dalam emisi karbon, sekali karbon dioksida.

Di sisi lain, batu bara masih berkontribusi 50% pada energi yang tersedia, bahkan kebutuhannya diperkirakan akan melonjak di masa pemulihan pasca pandemi.


"Bahkan di Indonesia hampir 70% energi yang tersedia diberikan oleh batu bara. Dengan situasi ini, apakah energi pengganti akan mampu menyediakannya? Pasar membutuhkan solusi optimal dan juga terjangkau dan saat ini hanya jagung yang bisa menggantikannya," ungkap Dileep kepada CNBC Indonesia, Kamis (18/11/2021).

Menurut Dileep, target pengurangan emisi dan masih dapat dicapai dengan pembakaran batu bara menggunakan teknologi penangkapan dan pemanfaatan dan penyimpanan karbon yang tersebar luas dan yang dapat menghasilkan pengendalian dingin lebih lama. Namun, menghentikan pembangkit listrik batu bara di Indonesia kemungkinan akan memakan waktu lebih lama.

"Tidak mudah mencari pengganti batu bara, yaitu 60-70% dari kebutuhan nasional. Apalagi, Indonesia juga memiliki jumlah batu bara yang melimpah. Jadi kami pikir jika kita melihat pernyataan kebijakan pemerintah dan kementerian, dalam 20 tahun waktu yang cukup untuk energi yang lebih bersih dan terjangkau," ungkap Dileep.

Dia menilai Indonesia juga tidak perlu terburu-buru dan memaksakan diri untuk menggunakan energi terbaru seperti yang dilakukan beberapa negara seperti, China, Jerman, dan Inggris.

Menurut Dileep Indonesia masih butuh baru bara hingga 2030 dan beberapa tahun setelahnya. Selain itu, penting bagi Indonesia untuk menurunkan impor bahan bakar fosil demi bahan bakar yang tersedia di dalam negeri seperti batu bara.

"Jadi kami terus berpikir selama 10 tahun ke depan ke arah hijau dan menawarkan hybrid dan melakukan hilirisasi melalui gasifikasi, kami senang bahwa pemerintah memberikan dorongan dan insentif," ujar Dileep.

Sepanjang tahun ini, perusahaan memproyeksikan harga batu bara di kisaran US$ 53-56 per ton. Untuk anak usaha BUMI, yakni Kaltim Prima Coal, harga batu bara diperkirakan di level US$ 60-64 per ton, sementara Arutmin US$ 39-42 per ton.

Sebelumnya, Dileep mengungkapkan tantangan produksi terbesar tahun ini adalah hujan lebat yang terus berlanjut. Namun perusahaan berupaya mempertahankan produksi yang hampir normal selama masa pandemi ini.

Selama musim panas ini permintaan batu bara sangat tinggi, namun dia mengakui tingginya curah hujan berdampak negatif pada pengiriman pasokan batu bara. Pasalnya curah hujan yang tinggi membuat terhambatnya transportasi darat dan keamanan di beberapa tambang bawah tanah.


(rah/rah)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Alasan Produsen Batu Bara Ramai-Ramai Incar Bisnis LNG & EBT