Bursa Asia Variatif, IHSG Berayun ke Zona Merah
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berayun ke zona merah pada penutupan perdagangan sesi pertama Senin (15/11/2021), menyusul aksi ambil untung investor asing.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.629,796 atau drop 21,3 poin (-0,32%) pada penutupan siang. Dibuka naik 0,16% ke 6.661,849, indeks acuan utama bursa ini menyentuh level tertinggi hariannya pada 6.675,595 tepat pukul 09:00 WIB.
Namun selepas itu, IHSG tertekan dan meluncur ke zona merah hingga menyentuh level terendah hariannya pada 6.615,55 sekitar pukul 11:00 WIB. Mayoritas saham terpelanting yakni sebanyak 364 unit, sementara 158 lain menguat, dan 148 sisanya flat.
Nilai perdagangan masih terbatas di level Rp 6,9 triliun yang melibatkan 14 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 890.000-an kali. Investor asing hari ini masih mencetak penjualan bersih (net sell), senilai Rp 248,8 miliar.
Saham yang mereka lego adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 158,1 miliar dan Rp 57 miliar. Kedua saham tersebut tertekan, masing-masing sebesar 1,4% ke Rp 4.160/saham dan 5,3% menjadi Rp 2.520/saham.
Sebaliknya, saham buru antara lain PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP) dengan nilai pembelian bersih masing-masing Rp 35,4 miliar dan Rp 28,7 miliar. Saham BBCA naik 0,7% ke Rp 7.575 dan INKP melesat 2,6% ke Rp 8.750/saham.
Dari sisi nilai transaksi, saham PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) dan BBRI meraja dengan total nilai perdagangan masing-masing sebesar Rp 490,9 miliar dan Rp 378,1 miliar, dan PT Bank Jago Tbk (ARTO) senilai Rp 266,3 miliar.
Koreksi terjadi di tengah pergerakan variatif bursa Asia. Indeks bursa Nikkei Jepang dan KOSPI Korea Selatan menguat, masing-masing sebesar 0,4% dan 1% sementara indeks Shanghai China dan Hang Seng Hong Kong melemah sebesar 0,3% dan 0,1%.
Pasar mengantisipasi arah portofolio investor global di tengah kenaikan inflasi dua ekonomi terkuat dunia, yang memicu lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Jika tren tersebut berlangsung, maka terbuka peluang peralihan dana global ke negara maju untuk memburu kupon obligasi baru yang lebih tinggi.
Indeks harga konsumen (IHK) AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%. Angka itu merupakan yang tertinggi sejak 1990. Secara bulanan, inflasi naik 0,9% atau di atas estimasi pasar sebesar 0,6%.
Di sisi lain, pemerintah China melaporkan IHK naik 1,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)