Ngeri! Korban Krisis Properti China Nambah Terus...
Jakarta, CNBC Indonesia - Gejolak di sektor real estat China dapat mengancam Amerika Serikat (AS), Federal Reserve mengatakan dalam sebuah laporan pada hari Senin.
Dalam pembaruan dua kali setahun tentang sistem keuangan Amerika, bank sentral AS mengatakan prihatin dengan seberapa tinggi tingkat utang telah tumbuh di sektor korporasi China dan bagaimana Beijing menangani polemik tersebut.
Data Bloomberg menunjukkan bahwa peminjam China telah gagal membayar sekitar US$ 9 miliar (Rp 128,7 triliun) obligasi luar negeri tahun ini, dengan industri real estat menyumbang sepertiga dari jumlah itu.
Akibatnya, penurunan peringkat kredit pengembang China telah bertambah pada bulan Oktober, mencapai rekor tertinggi dalam dua bulan beruntun. Ada 44 perusahaan yang peringkatnya diturunkan oleh Moody's Investors Service, S&P Global Ratings dan Fitch Ratings hingga 21 Oktober 2021, setelah tercatat 34 penurunan peringkat hingga akhir bulan September.
Masalah keuangan China Evergrande Group, pengembang dengan utang terbesar di dunia sebesar US$ 300 miliar (Rp 4.290 triliun), telah memicu kepanikan di pasar keuangan global dan di dalam negeri AS.
Kekhawatiran yang awalnya muncul hanya pada satu perusahaan dengan timbunan utang menggunung kini telah menyebar ke sejumlah perusahaan real estat lainnya. Pengembang-pengembang lain juga menunjukkan upaya berjuang melunasi tumpukan utang dan pasar properti melambat dengan pengetatan kontrol pemerintah atas pinjaman baru perusahaan.
Beberapa perusahaan lain yang likuiditasnya tertekan dan kesusahan membayarkan utang termasuk Fantasia Holding, Sinic Holdings dan Modern Land yang melewatkan pembayaran surat utang atau mengalami gagal bayar (default).
Regulasi Beijing Bisa Berdampak ke AS
Fokus regulasi atas utang perusahaan pengembang (three red lines) yang diluncurkan Beijing, kata The Fed, "memiliki potensi untuk menekan beberapa perusahaan yang berhutang banyak, terutama di sektor real estat, seperti yang dicontohkan oleh kekhawatiran baru-baru ini atas China Evergrande Group."
Secara umum aturan tersebut dibuat untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama untuk menjaga likuiditas perusahaan tetap di zona yang aman dengan cara menekan jumlah maksimum pinjaman.
Three red lines merupakan kriteria yang harus dipenuhi demi memperoleh akses pinjaman yang lebih baik dari perbankan, dengan pelanggaran memiliki konsekuensi. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
- Rasio utang terhadap aset (tidak termasuk penerimaan uang muka) kurang dari 70%
- Net gearing ratio kurang dari 100%
- Rasio kas terhadap hutang jangka pendek lebih dari 1x
Tekanan-tekanan yang dihasilkan oleh aturan China tersebut dikatakan The Fed pada gilirannya dapat meluas ke ekonomi yang lebih luas.
"Mengingat ukuran ekonomi dan sistem keuangan Tiongkok serta hubungan perdagangannya yang luas dengan seluruh dunia, tekanan keuangan di Tiongkok dapat membebani pasar keuangan global melalui penurunan sentimen risiko, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global, dan mempengaruhi Amerika Serikat," kata The Fed.
Setidaknya enam pengembang properti China telah gagal membayar obligasi asing dalam beberapa pekan terakhir, mengguncang pasar keuangan domestik dan meningkatkan biaya pinjaman untuk semua perusahaan China.
Harga properti melemah dan lebih sedikit orang yang membeli apartemen, memperburuk prospek sektor ini. Evergrande, yang memiliki lebih dari satu juta apartemen yang belum selesai di seluruh negeri, menghadapi tenggat waktu pada hari Rabu untuk melakukan setidaknya US$ 150 juta dalam pembayaran obligasi.
Setelah beberapa dekade melakukan pinjaman besar-besaran, regulator China telah memotong pendanaan bagi sektor real estat. Banyak pengembang menjual apartemen dan menerima pembayaran dari pembeli rumah sebelum mereka menyelesaikan properti, menciptakan situasi yang sulit tidak hanya bagi bank dan investor tetapi juga bagi pemilik rumah individu.
(fsd/fsd)