Jakarta, CNBC Indonesia - Meluasnya jangkauan layanan teknologi finansial (fintech) merupakan salah satu tantangan yang menghambat pertumbuhan industri perbankan konvensional di seluruh dunia.
Hal ini terjadi karena banyak perusahaan fintech hingga perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Google, Samsung Ikut menawarkan layanan finansial yang sebagian pasarnya masih belum mampu dijangkau sepenuhnya perbankan konvensional dengan memberikan persyaratan relatif mudah dan penawaran yang cukup menarik, selain juga kecanggihan teknologi yang dimiliki.
Terlebih lagi keberadaan mereka juga mempengaruhi perilaku konsumen, tidak terkecuali nasabah perbankan.
Industri perbankan Indonesia juga tidak dapat lolos dari tekanan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari perolehan marjin bunga bersih alias Net Interest Margin (NIM) yang menunjukkan tren penurunan dalam lima tahun terakhir.
Dari grafik di atas terlihat bahwa dari 8 bank terbesar di Indonesia (mantan konstituen bank BUKU IV) mencatatkan tren penurunan NIM antara tahun 2016 hingga akhir September 2020.
Emiten perbankan pelat merah, termasuk PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), termasuk bank dengan koreksi NIM terdalam.
Dalam tiga tahun terakhir tercatat satu bank yang memiliki kinerja anomali, berbeda dengan industri secara keseluruhan yakni Bank Permata, yang sejak 2018, marjin bunga bersih selalu mengalami kenaikan.
Meski naik, NIM Bank Permata masih berada di bawah empat bank lainnya. Ban Danamon mencatatkan NIM paling besar tahun 2020 lalu yakni sebesar 7,4%, angka tersebut turun dari capaian tahun 2018 yang mencapai 8,9%.
Selanjutnya terdapat bank BRI yang meski mengalami penurunan signifikan, angka NIM perusahaan tahun 2020 masih berada di angka 6%, turun dari posisi tahun 2018 yang mencapai 7,45%.
Bank BCA menguntit di belakang dengan torehan NIM 5,7% pada tahun 2020, angka ini juga susut dari semula 6,8% pada tahun 2016.
Bank digital yang ikut berperang untuk mengamankan nasabah baru sering kali menawarkan bunga simpanan tinggi, ada yang bahkan mencapai 8% secara tahunan.
Praktik semacam ini memang harus dilakukan demi memperoleh keuntungan kompetitif khususnya dari bank-bank besar yang sudah lebih lama berbisnis di bidang jasa keuangan.
Bank digital yang juga menawarkan kemudahan pembukaan rekening, kemudahan melakukan transaksi dan aspek teknologi baru yang membuat nasabah merasa nyaman juga sering bekerja sama dengan layanan fintech, dengan harapan NIM kecil tersebut dapat ditebus dengan pendapatan di sektor fintech. Hal ini terlihat dari Akulaku, perusahaan layanan fintech yang resmi menjadi pengendali BBYB yang kini disulap menjadi bank digital setelah berganti nama menjadi Bank Neo Commerce.
Demikian pula Bank Jago yang sebagian sahamnya dimiliki oleh layanan finasial milik Gojek. Integrasi antara Bank Jago dengan Gopay serta dukungan ekosistem Gojek-Tokopedia (GoTo) tentu mampu memberikan kontribusi signifikan bagi bank digital tersebut. Walaupun berdasarkan laporan keuangan ARTO tahun lalu NIM nya meningkat, bisa jadi kedepannya angka tersebut akan kembali turun.
Secara umum angka NIM bank digital memang lebih kecil dari pada bank konvensional pada umumnya. Bahkan angka NIM Bank Capital tahun 2020 lalu hanya sebesar 1,10%.
Berikut data NIM Bank digital dalam lima tahun terakhir dihimpun dari laporan tahunan yang diterbitkan masing-masing perusahaan
Strategi Bank
NIM merupakan suatu tolak ukur yang menggambarkan selisih atau spread antara suku bunga simpanan dengan suku bunga pinjaman (kredit). Bank akan membukukan NIM yang lebih besar jika, suku bunga kreditnya jauh lebih besar dibandingkan dengan suku bunga simpanan, dan sebaliknya.
Tingkat suku bunga kredit dan suku pinjaman industri perbankan merujuk pada tingkat suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI), dalam hal ini BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Selain itu, untuk dapat menggalang dana pihak ketiga yang cukup, bank mau tidak mau harus menawarkan suku bunga simpanan yang lebih menarik (lebih tinggi) dan menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga kreditnya. Dengan kondisi demikian, wajar saja jika NIM perbankan tertekan.
Pasalnya, untuk menjaga tingkat NIM yang tinggi, berarti suku bunga simpanan (deposito) juga harus turun seiring dengan menaikkan suku bunga kredit. Akan tetapi, kembali lagi, jika suku bunga simpanan diturunkan, maka dana pihak ketiga yang dapat dihimpun bank beresiko turun.
Akhirnya, mayoritas perbankan lebih memilih untuk menurunkan suku bunga kredit dan menjaga suku bunga simpanan tetap menarik yang berujung pada capaian NIM yang tidak terlalu tinggi.