
Khawatirkan Prospek China, IHSG Melemah di Penutupan Sesi 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergelincir di teritori negatif pada penutupan perdagangan sesi pertama Selasa (2/11/2021), menyusul buruknya data ekonomi dari China.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.524,417 atau terpeleset 28,5 poin (-0,43%) pada penutupan siang. Dibuka naik 0,08% ke 6.557,945, indeks acuan utama bursa ini sempat menyentuh level tertinggi hariannya pada 6.573,694 tepat pukul 09:00 WIB.
Namun, selepas itu IHSG berfluktuasi dan kemudian memasuki zona merah sejak pukul 09:30 WIB hingga menyentuh level terendah hariannya pada 6.518,492 beberapa menit jelang penutupan sesi pertama.
Mayoritas saham terpelanting yakni sebanyak 312 unit, 193 lain menguat, dan 158 sisanya flat. Nilai perdagangan susut ke level Rp 5,7 triliun yang melibatkan 11 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 758.000-an kali.
Investor asing mencetak pembelian bersih (net buy) senilai Rp 81,2 miliar. Saham yang mereka borong terutama adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dengan nilai pembelian bersih masing-masing Rp 47,2 miliar dan Rp 44,7 miliar. Saham BBRI turun 0,24% ke Rp 4.220/saham dan KLBF lompat 1,3% ke Rp 1.610/unit.
Sebaliknya, aksi jual asing menimpa saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 101,3 miliar dan Rp 24,8 miliar. Kedua saham tersebut tertekan dengan koreksi masing-masing sebesar 0,7% dan 2,2% menjadi Rp 7.350 dan Rp 665/saham.
Dari sisi nilai transaksi, saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) kali ini meraja dengan total nilai perdagangan Rp 386,7 miliar diikuti BBCA senilai Rp 269,8 miliar, dan PT Surya Permata Andalan Tbk (NATO) senilai Rp 213,5 miliar.
Koreksi terjadi di tengah kekhawatiran seputar prospek pemulihan ekonomi dunia, khususnya di Asia, setelah China melaporkan kenaikan inflasi, sebagaimana terlihat dari indeks harga produsen (producer price index/PPI) yang melonjak tajam.
Pada September, PPI China mencapai 10,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1996. Tekanan inflasi tersebut terjadi di tengah perlambatan aktivitas manufaktur sebagaimana terlihat dari Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI).
Biro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan PMI manufaktur periode Oktober 2021 adalah 49,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,6 sekaligus jadi yang terendah sejak Februari 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham Bank Diburu, IHSG Awet Menghijau Hingga Closing Sesi 1