
Batu Bara Melesat Tapi Investor Borong Dolar AS, Rupiah Galau

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah cukup terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan awal pekan kemarin, sepanjang perdagangan terus tertahan di zona merah. Sementara pada awal perdagangan Selasa (26/10) rupiah sukses cukup berfluktuasi.
Harga batu bara yang kembali melesat memberikan sentimen positif ke rupiah, tetapi pelaku pasar juga masih wait and see, sebab banyak event yang bisa memberikan dampak signifikan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,11% ke Rp 14.140/US$, tetapi kurang dari 10 menit kemudian sudah berbalik melemah 0,04% di Rp 14.160/US$.
Harga batu bara yang mulai menanjak lagi bisa memberikan dampak positif ke rupiah. Pada pekan lalu, harga baru bara acuan Ice Newcastle Australia untuk kontrak bulan November ambrol nyaris 21% di pekan ini ke US$ 191/ton.
Sebelumnya batu bara mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 270/ton pada 5 Oktober lalu. Jika dilihat dari rekor tersebut, batu bara sudah jeblok nyaris 30%.
Namun, dalam 2 hari perdagangan terakhir, batu bara kembali melesat lebih dari 7%.
Intervensi dari pemerintah China membuat harga batu bara ambrol pada pekan lalu, tetapi beberapa trader mengatakan masalah supply-demand belum akan selesai.
"Harga batu bara jeblok karena intervensi pemerintah China, tetapi bukan berarti ada perubahan yang berarti dari kondisi supply-demand," kata trader yang berbasis di Shaanxi China, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (23/10).
Selain itu, sebentar lagi China akan memasuki musim dingin permintaan baru bara akan kembali meningkat, sehingga harganya berpeluang naik kembali.
"Tantangan sebenarnya untuk supply akan terlihat setelah pertengahan November, sebab permintaan harian untuk pembangkit listrik akan meningkat, sementara operasi pertambangan dan transportasi akan melambat karena memasuki musim dingin," kata trader dari salah satu perusahaan pembangkit listrik di China yang tidak ingin dipublikasikan namanya, sebagaimana dilansir Reuters.
Batu bara merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, Kenaikan harganya membuat neraca perdagangan mencatat surplus, dan pendapatan pajak negara melonjak, sehingga memberikan dampak positif ke rupiah.
Sementara itu di pekan ini setidaknya ada 2 data yang akan mempengaruhi pergerakan pasar mata uang, khususnya melawan dolar AS.
"Ada banyak event yang berisiko besar di pekan ini, dan dolar AS yang sedang melemah dalam dua pekan terakhir kini mulai diborong lagi oleh pelaku pasar" kata Joseph Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (25/10).
Amerika Serikat akan merilis data produk domestik bruto (PDB), hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) AS "hanya" tumbuh 2,8% di kuartal III-2021, melambat dari sebelumnya 6,7%.
Rilis PDB AS jika lebih rendah dari prediksi tentunya akan memundurkan lagi ekspektasi kenaikan suku bunga. Apalagi, ketua bank sentral AS (The Fed) pada pekan lalu sekali lagi menegaskan belum saatnya menaikkan suku bunga.
"Saya berfikir sekarang saatnya melakukan tapering, saya tidak berfikir sekarang saatnya menaikkan suku bunga," kata Powell dalam konferensi virtual Jumat (23/10), sebagaimana diwartakan Reuters.
Data PDB Amerika Serikat akan dirilis pada Kamis (28/10), sehari setelahnya akan dirilis data inflasi versi personal capital expenditure (PCE).
Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi PCE Inti tumbuh 3,7% year-on-year (YoY) di bulan September, lebih dari dari bulan sebelumnya 3,6% YoY yang merupakan level tertinggi dalam 3 dekade terakhir.
Jika rilis tersebut sesuai prediksi, maka kecemasan akan stagflasi akan semakin meningkat, dan dolar AS yang akan diuntungkan sebab menyandang status safe haven.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
