Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHGS) semakin dekat dengan rekor tertinggi sepanjang masa di pekan ini. Tetapi, setiap kali mendekat IHSG diterpa aksi ambil untung (profit taking) yang membuatnya berfluktuasi.
Meski demikian, IHSG mampu mencatat penguatan 0,16% sepanjang pekan ini ke 6.643,738. Dengan kinerja positif tersebut, IHSG sudah menguat enam pekan beruntun.
Selain itu, kabar baik lainnya investor asing kembali memborong saham. Data pasar mencatat sepanjang pekan ini investor asing melakukan beli bersih (net buy) sebesar Rp 4,89 triliun, melanjutkan aksi borong Rp 5,15 triliun pekan lalu.
IHSG sudah sangat dekat dengan rekor tertinggi sepanjang masa 6.693,466 yang dicapai pada 20 Februari 2018, atau berjarak 0,75%. Sehingga, peluang untuk memecahkan rekor di pekan ini terbuka lebar.
Berbeda dengan IHSG, rupiah justru mencatat kinerja buruk. Mata Uang Garuda melemah di saat mayoritas mata uang utama Asia menguat melawan dolar Amerika Serikat. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah melemah 0,36% ke Rp 14.120/US$. Rupiah bahkan menjadi yang terlemah di Asia.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia di pekan ini.
Rupiah sebenarnya beberapa kali mendekati Rp 14.000/US$, tetapi selalu berbalik terkoreksi akbat aksi profit taking. Hal tersebut juga terlihat dari indeks dolar AS yang melemah 0,31%
Dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) menguat, terlihat dari pergerakan yield yang turun. Hanya SBN tenor 5 dan 25 tahun yang mengalami pelemahan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun harga obligasi naik, begitu juga sebaliknya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Data Pertumbuhan Ekonomi AS Jadi Perhatian Utama
Pada pekan ini, perhatian akan tertuju pada data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kuartal III-2021. Hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) AS "hanya" tumbuh 2,8% di kuartal III-2021, melambat dari sebelumnya 6,7%.
Data tersebut bisa mempengaruhi outlook kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) yang akan memulai periode normalisasi kebijakan moneter. The Fed akan hampir pasti melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini. Tetapi untuk kenaikan suku bunga, masih menjadi tanda tanya, apakah akhir tahun depan atau di tahun 2023.
Rilis PDB AS jika lebih rendah dari prediksi tentunya akan memundurkan lagi ekspektasi kenaikan suku bunga.
Survei terbaru dari Reuters menunjukkan mayoritas ekonom memprediksi bank sentral pimpinan Jerome Powell ini baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.
Reuters mengadakan survei terhadap 67 ekonom pada periode 12 sampai 18 Oktober, hasilnya sebanyak 40 orang memprediksi suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Jika dipecah, sebanyak 29% memprediksi suku bunga akan dinaikkan di kuartal I-2023, kemudian 18% di kuartal II-2023, dan berturut-turut di kuartal berikutnya sebanyak 1% dan 11%.
Sementara itu, sebanyak 28% dari 67 ekonom melihat suku bunga bisa dinaikkan di kuartal IV-2022, dan 11% di kuartal III-2022.
"Kami tetap memperkirakan The Fed masih akan bersabar. Kami melihat suku bunga tidak akan dinaikkan hingga akhir 2023, tetapi waktu tepatnya akan sangat tergantung dari rilis data ekonomi," kata Jim O'Sullivan, kepala strategi makro di TD Securities, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (20/10).
Pelambatan ekonomi AS, bisa membuat ekspektasi waktu kenaikan suku bunga mundur, hal tersebut bisa berdampak positif bagi pasar saham dunia, termasuk IHSG. Rupiah juga akan diuntungkan.
Tetapi di sisi lain, pelambatan tajam PDB AS bisa memicu kecemasan akan stagflasi, dimana pelambatan ekonomi terjadi saat inflasi sedang tinggi. Maka pasar finansial wajib waspada.
Data PDB AS akan dirilis pada Kamis (28/10/2021), sehari setelahnya akan dirilis data inflasi versi personal capital expenditure (PCE). Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi PCE Inti tumbuh 3,7% year-on-year (YoY) di bulan September, lebih dari dari bulan sebelumnya 3,6% YoY yang merupakan level tertinggi dalam 3 dekade terakhir.
Jika rilis tersebut sesuai prediksi, maka kecemasan akan stagflasi akan semakin meningkat.
Sementara itu kabar baik datang dari dalam negeri. Pemerintah Indonesia pada Senin (18/10/2021) kembali memperpanjang PPKM di Jawa-Bali hingga 1 November mendatang. Tetapi sekali lagi dengan beberapa pelonggaran yang membuat roda bisnis berputar lebih kencang. Hal itu tentunya berdampak bagus bagi perekonomian dan pasar finansial Indonesia.
Kabar baiknya lagi, penambahan kasus akibat penyakit Covid-19 dalam seminggu terakhir konsisten di bawah 1.000 orang per hari.
Satgas penanganan Covid-19 hari ini melaporkan penambahan kasus baru sebanyak 623 kasus, terendah sejak 4 Juni tahun lalu. Penambahan kasus tersebut selalu di bawah 1.000 orang per hari sejak 15 Juni lalu. Dalam 7 hari terakhir, rata-rata penambahan kasus sebanyak 769 orang, menjadi yang terendah sejak 8 Juni 2020.
Sementara untuk pasien yang sembuh hari ini dilaporkan sebanyak yang meninggal hari ini dilaporkan sebanyak 1.037 orang, dan yang meninggal dunia bertambah 29 orang. Dengan demikian, kasus aktif dilaporkan sebanyak 14.360 orang, berkurang 443 kasus dibandingkan Sabtu kemarin. Kasus aktif tersebut menjadi yang terendah sejak 22 Mei 2020.
Jika kasus Covid-19 terus konsisten di bawah 1.000 kasus per hari, tentunya memicu optimisme perekonomian Indonesia akan semakin membaik dan menopang IHSG memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa, serta rupiah menembus Rp 14.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA